The Fruit of The Truth
Tidak ada kebenaran
yang mutlak selain dari Allah.
Manusia akan membuat
perbedaan dari setiap kebenaran yang ia junjung, supaya Allah menguji terhadap
kebenaran manakah dari mereka yang justru bisa semakin dekat kepada-Nya.
The fruit of the truth
“Netral dong, dri!.”
Kenapa harus netral? Kan setiap orang juga pasti punya siap
dong.
“Yah, kalau kita punya sikap, lantas apakah sikap kita itu
sudah sesuai tempatnya atau belum?”
“Kalau kata lu, apa yang ada di depan mata lu itu huruf T,
mungkin bila apa yang ada di depan mata gw itu huruf H, apakah lu berani dengan
bangganya membenarkan perkataan lu sendiri?”
Begitulah, temanku. Ia salah satu mahasiswa yang bagiku
sudah seharusnya lulus dan berada di tiingkat semester akhir. Namun, dari semua
perkataan yang sering ia sampaikan,
menurutku ia selalu tidak luput dari kekeliruan, dan selalu mempunya
sudut pandang yang tidak sampai memecahbelah pemikiran di antara kami, satu
sama lain.
Sekilas dari ilustrasi penggalan singkat cerita ini, meski
memang tidak nyata, namun sering kali peristiwa seperti ini terjadi di
keseharian kita. Salah satu penyebabnya adalah berawal dari sebuah spekulasi.
Spekulasi adalah tingkatan seseorang yang mencoba untuk berproses dalam
menerima suatu ilmu atau pengetahuan secara umum, lalu ia menggunakan nalarnya
untuk menyikapi apa yang telah ia terima, dan kemudian yang akan disampaikannya
adalah sebuah perkataan yang bersifat anggapan, asumsi, afirmasi, atau bisa
juga dengan dalam berbentuk pertanyaan yang bertujuan untuk membalikkan sumber
dari sebuah informasi tersebut.
Namun yang terjadi adalah ketika spekulasi sudah di temukan
melalui proses penalaran yang panjang, atau bisa jadi dengan singkat, tabiat
manusia yang ‘lupa’ terlihat saat ia sudah mulai merasa bahwa apa yang ia
tanggapi, asumsikan, afirmasikan, atau yang di pertanyakan merupakan sebuah
jawaban final dan kebenaran yang mutlak dari sisi sudut pandang mereka. Hingga
akhirnya, manusia seperti itulah dengan mudah tercemplung ke dalam dasar dari
suatu masalah. Masalah tersebut bisa berbentuk konflik antar pendapat, debat
yang argumentatif, subjektivitas informasi, serta emotional trigger pun tak terelakkan hanya karena mempertahankan
awal dari sebuah keinginan defensif yang ingin saling membenarkan diri sendiri.
Spekulasi.
Spekulasi memang akan membuat konflik semakin besar, namun
bukan berarti sebabnya dari sebuah spekulasi secara mutlak, melainkan bagaimana seseorang menyikapi sebuah
spekulasi di dalam diri sendiri.
Berbagai kasus dan mencoloknya perbedaan di tahun ini,
seiring berkembangnya teknologi dan informasi, banyak orang mengakses suatu
kebenaran instan yang di sebut media
sosial sebagai alat untuk menggali berbagai fakta dan persepsi dari orang
yang menyampaikan informasi tersebut di dalamnya. Media tersebut dengan mudah
dapat dinikmati berbagai kalangan, tua – muda, anak sekolah – mahasiswa,
pengangguran – pekerja, hingga pedesaan – pejabat. Semua menggunakan alat media
sosial sebagai integrasi cakrawala hingga ke berbagai belahan dunia.
Namun, kembali lagi, hanya karena berbagai topik
permasalahan yang hangat saja, seperti pemilihan presiden (pilpres) dapat
menciptakan konflik internal di setiap kalangan masyarakat. Hanya karena
perbedaan memilih presiden dan modal ‘berani mengambil sikap’ ini ditunjukkan
ke ranah publik, konflik perbedaan pendapat yang kemudian berlanjut dengan
saling menyodorkan fakta dan persepsi dari pilihan mereka masing-masing.
Perbedaan yang seharusnya menjadi warna untuk saling merangkul, justru malah
berakhir saling membunuh karakter setiap individu.
Begitu pula dengan kasus yang sedang hangat diperbincangkan, di mana kasus yang katanya di sebut ‘penyiksaan’ seorang anak SMA terhadap anak di bawah usianya, anak SMP, dikarenakan asmara muda-mudi yang berujung konflik adu ujaran kebencian di media sosial, dan hingga berakhir sang anak SMP tersebut harus ‘mendekam’ di rumah sakit. Berbagai versi spekulasi dan fakta, serta analisis dari setiap golongan, baik penegak hukum dan netizen (warga internet) pun terlibat dalam mencari kebenaran, yang ternyata media satu dengan yang lainnya memberitakan wacana dan penyampaian pesan yang ‘berbeda’ dari satu topik permasalahan yang sama.
Hanya satu hal yang dapat memastikan penyebab dari semua kejadian tersebut bisa terus-menerus muncul, yakni bahwa manusia diciptakan ingin melakukan hal yang benar, dan tidak mau disalahkan (di tolak eksistensinya). Bermula Nabi Adam a.s. berada di taman syurga bersama pasangannya, Siti Hawa, lalu syaithan mulai menggoda Adam dengan mengajarkan ilmu logika. Logika memang pada dasarnya makhluk Adam telah memilikinya, namun dengan kehadiran syaithan, logika berbuah menjadi hasrat keinginan atas membenarkan sesuatu yang ia kehendaki, dan ia bangga dengan apa saja yang dikehendakinya. Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat, tidak mungkin bisa dibodohi oleh Adam a.s. yang saat itu sudah mulai tergoda dengan menghalalkan kebenaran yang ‘ia miliki’, bukan apa yang Allah kehendaki. Itulah mengapa Allah SWT., dengan kuasa-Nya menurunkan Adam a.s. dan Siti Hawa dari syurga ke alam dunia yang saat ini kita sebut Bumi. Nabi Adam a.s. menyesal dan mengirimkan do’a kepada Allah, hingga do’anya diabadikan di dalam sebuah kitab kebenaran yang mutlak di sebut Al-Qur’an, sebagai kepercayaan yang di miliki oleh seorang muslim.
Kebenaran, tidak pernah jatuh kepada tangan yang salah.
Semuanya benar. Hanya, kembali lagi bagaimana manusia itu sendiri yang memaknai
kebenaran tersebut. Jika memang datangnya dari Allah, dari Dzat Kuasa yang
tidak dapat dibandingkan dengan dunia dan seisinya, maka kebenaran yang di
junjung oleh tangan manusia selama bersanding dan kembali kepada Allah, niscaya
kebenaran tersebut akan mendapatkan naungan dan selamat. Namun, jika kebenaran
tersebut hanya berlandaskan kepada spekulasi semata, lalu kemudian dengan
usahanya ia membeberkan fakta, tidak cukup dengan hal itu ia perkuat dengan
logika yang argumentatif, dan tidak merasa cukup pun ia perlihatkan
emosionalnya demi meraih dukungan, dibenarkan, atau karena ingin menjatuhkan
orang lain atas kebenaran yang di miliki tanpa dilandasi kesabaran dan
keikhlasan kepada Allah, maka jangan sekali-kali taqlid kepada mereka yang meninggikan syaithan terhadap prasangkaan
tersebut. Naudzubillahi min dzaalik.
Mengapa manusia tidak bisa memproduksi kebenaran yang mutlak
di dalam diri mereka?
Karena, sangat sederhana.
Tidak mungkin Allah menciptakan makhluk dengan bentuk yang
serupa. Langit menyerupai bumi, atau bumi menyerupai langit. Manusia yang telah
dibekali Allah kecerdasan, malah harus menyerupai hewan yang notabene tidak
memiliki akal, begitu pula sebaliknya. Maka tidak mungkin pula manusia bisa
menjadi Tuhan, dan Tuhan bisa menjadi manusia; hanya karena manusia itu telah
tercipta sebagai makhluk yang selalu ingin benar dan pasti akan membuat
kerusakan bila segenap manusia di titipkan anugerah bisa memproduksi kebenaran
yang mutlak di dalam diri mereka. Secara mendasar, manusia itu diciptakan,
bukan pencipta. Jika ia pencipta, bertanyalah, mengapa anda bisa ‘ada’? Pasti
ada yang jelas-jelas menciptakan anda. Lantas siapa lagi kalau bukan Dzat
Pencipta lagi Maha Benar?
Menjadi makhluk yang bisa menghadirkan kebenaran tidak cukup
hanya dengan sudut pandang manusia. Perbedaan sudut pandang dari setiap
manusia, Allah ciptakan bagi mereka supaya mereka tidak saling berselisih, dan
dapat menjunjung persatuan harmoni antar makhluk hingga seluruh alam semesta
menyeru. Allah berikan akal dengan sesuai kesanggupan masing-masing kemampuan
yang manusia miliki, hingga dari waktu ke waktu terciptanya keanekaragaman cara
berpikir, berkepribadian, berperilaku, dan berakal terhadap sesuatu yang berbeda
dari setiap manusia miliki.
Dengan adanya perbedaan tersebut, manusia dapat
berkesempatan untuk merefleksikan diri dari semua spekulasi-spekulasi di dalam
dirinya tentang anggapan, asumsi, fakta, persepsi, intuisi, imajinasi, sensasi,
afirmasi, hingga pertanyaan-pertanyaan yang bisa menemukan kebenaran apakah
yang sedang terjadi di dalam kehidupan manusia sesungguhnya. Kebenaran akan
menemui setiap manusia, dengan syarat manusia itu sendiri harus berserah kepada
Sang Maha Benar dan Maha Kuasa atas apa yang Dia kehendaki suatu kebenaran yang
di genggam-Nya. Kuncinya adalah, berserah.
Melalui berserah inilah, manusia akan melalui proses panjang
dalam perjalanan kehidupan sesungguhnya. Ia akan berjuang untuk menemukan
sebuah kebenaran dari petunjuk yang Dia berikan kepada manusia dengan harap
manusia itu sendiri yang akan menyadari makna dari perjalanan yang ia temui
selama masa hidupnya. Kebenaran yang sejati adalah ketika ia menemui sebuah
sudut pandang yang memiliki warna yang mentah, ia akan memetiknya di setiap
perjalanan yang ia lewati dengan sabar, hingga akhirnya ketika ia menghadap
wajah kepada Yang Maha Kuasa, segenap kebenaran itulah Dia berkati seluruh amal
dari perjalanannya menjadi sebuah kebenaran yang mutlak.
Artinya apa?
Artinya, jangan pernah berhenti untuk menemukan sebuah pohon
kebenaran. Ia selalu berada di dalam sanubari manusia, yang terkadang tidak
semua hal ‘sematang’ yang kita dapatkan. Namun, dari perjalanan dan
pembelajaran inilah yang akan mematangkan buah kebenaran yang telah kita
dapatkan. Kelak manisnya kebenaran yang di syukuri dan di nikmati, menjadi
sebuah hasil yang tiada sia-sianya selama ia masih bernafas di dalam kehidupan
yang fana ini.
Tidak ada kebenaran
yang mutlak selain dari Allah.
Manusia akan membuat
perbedaan dari setiap kebenaran yang ia junjung, supaya Allah menguji terhadap
kebenaran manakah dari mereka yang justru bisa semakin dekat kepada-Nya.
Jadilah yang dekat, terhadap-Nya, dan seluruh alam sekitar. Kamu akan menemukan berbagai kebenaran yang tak di sangka-sangka.
J
12/04/2019
Filusuf Ngawur, Cucunya
Herakleitos
Komentar
Posting Komentar