Cerpen #1: Titik Sunyi


Titik Sunyi
4/08/2018

(1)
                Angin yang berhembus begitu sejuknya, ketika di pagi hari segala aktivitas mulai beranjak bagun dari “malasnya” terbangun di waktu itu. Ramainya kendaraan yang sudah mengantri untuk mengambil jalur; baik itu mobil dan juga motor, baik itu kendaraan ringan ataupun kendaraan berat, bersama-sama saling mendahului dan lebih cepat mengambil posisi di sebuah jalan raya. Tak jauh dari keramaian tersebut, Akupun berdiri di atas atap rumah, memandang langit dan matahari yang kala itu belum terik. Dari atas atap rumahku ini, Aku bisa melihat semua makhluk, terutama manusia sepertiku. Kecil. Seperti Semut. Serasa bila Aku berandai-andai menjadi raksasa, Aku bisa merasakan bagaimana rasanya “menginjak” segalanya. Tapi, tetaplah kehadiranku pada waktu pukul 6 pagi ini tidaklah memberikan dampak apa-apa melainkan hanyalah kesunyian yang kudapatkan. Hening. Dan penuh rasa curiga, “Kemanakah semua orang? Mengapa hanya sedikit pejalan kaki saja yang melintas untuk menjadi pemandangan yang baik di pagi hari ini?”. Tak mengherankan jika Aku sendiri tidak membangunkan beberapa anggota keluargaku agar bisa merasakan nikmatnya udara pagi ini yang begitu syahdu.
      Biarkan aku cerita sedikit, dan memulainya dengan pertanyaan “Mengapa?”. Mengapa semua orang tertidur begitu pulasnya? Apakah mereka ingin mencari titik sunyi melalui aktivitas tidur yang sebenarnya hanya bisa menghasilkan angan-angan kosong saja? Kadang, Akupun sedih. Sedih merenungkan segala hal bersama di pagi hari. Ketika Aku masih usia SD, Aku diajarkan bangun pagi oleh Ibuku. Ibu yang selalu menyiapkan sarapan pagi, dan mengingatkanku untuk menuaikan ibadah sholat Subuh berjama’ah bersama Ayahku. Dan saat seusia itu pula, Ayah juga mengajarkanku bagaimana menjadi anak laki-laki yang tangguh. Seperti, bermain sepeda, lari pagi, dan berenang. Kemudian tidak tertinggal Kakak perempuanku, yang selalu lembut dalam menyapaku, meskipun secara mental ia tidak sama dengan orang lain, namun Kakakku adalah jiwa yang penyabar. Sekalipun Aku marah-marah, berkalut dengan emosi yang menggebu-gebu, Kakakku tetaplah Kakakku. Ia tidak pernah menunjukkan rasa marah padaku, meski ia harus menangis karenaku. Aku tidak sadar bila perilaku yang kulakukan dapat ditiru oleh Adik laki-lakiku, yang setahun di bawah usiaku. Dan Akupun tidak tahu berapa kali membuat Adik perempuan kecilku menangis karena pertengkaran Aku dengan Kakak, yang sangat kanak-kanakan sekali. Setiap pagi, keluargaku selalu memunculkan satu konflik dalam sehari. Sehingga tak jarang tetangga sangat terganggu oleh kebisingan dari anggota keluargaku.
       Sejujurnya, aku sangat merindukan saat seusia itu Aku bisa bercengrama bersama keluargaku di pagi hari. Meskipun adanya konflik, adanya berbagai masalah yang dihadapi, tidak penting seberapa kerasnya kehidupan ini bertarung, tapi dari hal seperti inilah yang membuat Aku kuat. Kuat untuk melahirkan semangat yang sesungguhnya. Kuat untuk merundukkan yang menjadi setiap rintangan. Kuat untuk menjaga tersulutnya amarah. Dan Kuat untuk menciptakan sebuah perdamaian.
      Namun, saat ini apa yang bisa kulakukan? Aku yang telah memiliki seorang wanita yang tinggal satu rumah dan dikaruniai tiga anak, Danish, Aelia, dan‘Aisha, merindukan anggota keluargaku yang punya keinginan untuk menciptakan semarak kebersamaan. Kuharap, suatu saat mereka menemukan suasana kesunyian yang ku nikmati selama ini.
(2)
          “Ayah?”
      Suara itu terdengar dari dalam rumahku. Dengan sigap Akupun turun dari atap rumah yang memiliki ‘sandaran’ untuk Aku duduk.
      “Iya, Nak. Tunggu sebentar,”teriakku yang saat itu baru saja menghentakkan kaki di atas tanah.lalu, salah seorang yang memanggilku itu ternyata...
      “Ayah, dari mana saja? Aku sangat lapar.”
      “Maafkan Ayah, Danish. Ayah baru saja dari atas bagian rumah ini,”ucapku. Tapi Aku yakin Danish pasti memahami ‘bahasaku’ barusan. Meski baru usia 10 tahun, Ia sangat cepat sekali menangkap berbagai tanda dan maksud dari penyampaian seseorang.
      “Ibu sedang apa, Danish?”tanyaku.
“Ibu sedang memasak untuk sarapan.”ujar Danish dengan nada yang sedikit lesu.
      Di antara tiga anakku, hanya Danish yang tidak menyukai masakan Istriku, Hanna. Karena Ia selalu mendapati menu masakan yang ‘itu-itu saja’ setiap hari. Menu sarapan pagi seperti telur goreng, kentang rebus, sosis olahan, selembar lettuce, dan saus tomat homemade-nya ternyata membuat Danish kurang berselera. Sedangkan, bagi Aelia dan ‘Aisha yang berusia 7 tahun tidak kehilangan nafsu makan sama sekali kecuali mereka mendapati makanan tersebut dengan memberikan pujian untuk Hanna-ku yang tercinta.
      “Ayolah, Danish. Kita makan dulu masakan buatan Ibu,”bujukku dengan sedikit rayuan. “Nanti kalau kamu nurut sama perintah Ayah, Ayah bakal membawa kamu ke suatu tempat yang menarik.”
      “Hmm... Janjikah Ayah untuk membawaku ke tempat yang menarik?”tanya Danish yang penuh penasaran.
      “Tentu saja.”
      Sejujurnya, yang Aku sukai dari anakku Danish adalah rasa keingintahuan yang tinggi dan memiliki jiwa eksplorasi yang mendalam. Mungkin serupa denganku, entah apa yang membuat Aku dan anakku bisa saling terhubung untuk persoalan ini. Karena itulah, Ia mudah di rayu dengan hal-hal yang bisa membuatnya menambah penasaran.
      Cara keluargaku makan bersama sangat jarang di temui setiap keluarga yang biasanya. Aku hanya menggelar tikar yang sederhana namun sangat luas, cukup bagi anggota keluargaku yang hanya berjumlah 5 orang. Istriku yang menyediakan sajiannya, dan anak-anak mengambil piring masing-masing. Anak-anak hanya makan di piring masing-masing, sedangkan untuk Aku dan Istriku makan di atas nampan yang cukup lebar untuk kami santap berdua. Hening. Tanpa adanya gaduhan di saat waktu makan tiba, melainkan suara kunyahan Aelia yang sangat bersuara. Namun, tak ada satupun yang menegur karena tiada yang kami temukan dalam lingkungan keluarga ini selain rasa menghargai dan memahami satu sama lain; baik itu kekurangan maupun kebiasaan lainnya.
      Setelah menyantap sarapan pagi, Aku meminta izin kepada Istriku untuk mengajak Danish pergi keluar.
      “Mau pergi kemana, Suamiku?”tanya Hanna dengan penuh penasaran.
      “Aku mau mengajak Danish ke suatu tempat. Untuk menghiburnya sejenak.”jawabku dengan suara lembut.
      “Hmm... Baiklah. Tetapi jangan lama-lama ya. Aku rindu tanpa kehadiranmu,”ucap Hanna sambil memeluk lenganku sangat erat.
      “Aku takkan lama. Percayalah padaku,”bisikku sambil memeluk Hanna dengan erat. “Tolong jaga Aelia dan Aisha ya. Aku akan belikan ia sepasang es krim tangkai di tempat biasa ya.”
      “Baik, Suamiku.” ucap Hanna. Dan setelah itu ia mencium pipiku dengan mesra.Lalu, kubalas ia dengan kecupan di dahinya.Tak lama berselang, Akupun menghampiri Danish yang sepertinya sudah menungguku di depan pagar luar rumah.
      “Kita berangkat, Ayah?”tanya Danish.
      “Ok. Pamit dahulu sama Ibu ya.”sahutku.
      Setelah Danish berpamitan dengan Istriku, Akupun memulai perjalananku dengan Danish. Untuk memperkenalkan ia sebuah titik kesunyian yang selama ini ingin aku tunjukkan kepada anakku ini.
(3)
      Keramaian orang, mungkin selalu kita dapatkan di setiap kota yang kita tinggal. Kemacetan kendaraan, sudah pasti banyak memadati; baik itu dari ujung hingga ke perbatasan kota. Hiruk pikuk, memang sudah biasa; khususnya berada di pinggiran kawasan kota yang di tinggali banyaknya perkampungan. Akupun tidak terlalu pandai bagaimana mengatakan keadaan kotaku yang penuh dengan keramaian ini. Hanya saja, setiap kali Aku melalui setiap kebisingan ataupun kehebohan yang acap kali terjadi saat Aku melintas, bagiku itu adalah sebuah media. Media yang sekedar untuk mengalihkan setiap pandangan ataupun pusat perhatian yang ada di sekitar. Ketika Aku mulai memahami keramaian itu mendekat padaku, saat itulah aku hanya merasakan kesunyian. Karena apa yang ingin ku dengar, bukan berarti apa yang sedang ‘ada’ di pendengaranku saja. Apa yang ingin ku lihat, bukan berarti apa yang sedang ‘terlihat’ di depan mataku saja. Dan apa yang ingin rasakan, tidak berarti aku akan ‘merasakan’ apa yang ada di depan, di samping, ataupun di belakang. Yang Aku dengar, lihat, dan rasakan adalah suara ketenangan. Karena dibalik sebuah keramaian, terdapat kesunyian yang terpendam. Entah itu dari mana, tetapi kau pasti akan merasakannya.
      “Ayah, mengapa engkau mengajakku ke tempat keramaian?”tanya Danish yang penuh penasaran.
      “Nak, apakah yang kamu rasakan saat memandang keramaian ini?” tanyaku sambil menunjuk kendaraan lalu lalang di dekat portal perbatasan kota yang bertuliskan “Selamat Datang Kota Depok” itu.
      “Aku sangat bosan. Aku tidak menemukan sesuatu yang membuatku itu menyenangkan.” jawab Danish dengan ketusnya.
      “Baiklah, sekarang pandangilah langit biru itu. Apa yang kamu rasakan, di saat kamu berada di keramaian ini?” tanyaku lagi sambil menunjuk langit biru itu.
      “Aku merasakan... ketakutan. Aku merasa sangat sepi meski aku tahu bahwa ada suara yang sangat ramai.” Jawab Danish dengan rasa takut.
      “Benar sekali,”ucapku dengan nada berbisik. “Itulah yang kusebut titik sunyi.”
      “Titik sunyi? Apakah itu Ayah?”tanya Danish dengan penuh penasaran.
      “Ketika penglihatanmu, pendengaranmu, dan perasaanmu menghadap kepada keramaian, kamu mungkin bisa teralihkan. Tetapi, belum tentu setiap keramaian dari seluruh alam semesta ini akan mengisi ruang isi hatimu yang paling dalam. Yang hanya kamu dapatkan hanyalah kesia-siaan.”jawabku.
      Danish memperhatikan setiap perkataanku dengan seksama, meskipun Aku tahu bahwa Ia masih belum bisa mengerti setiap perkataanku yang sangat textbook bagi dia yang masih berusia 10 tahun. Lalu, Akupun melanjutkan,
      “Jika saja kamu melihat banyak orang yang berbicara, dan mereka saling berbagi cerita-cerita yang mereka ucapkan, lantas apakah kamu sanggup untuk menjawab semua perkataan dari setiap banyak orang tersebut?”
      “Tidak Ayah. Aku tidak sanggup.”jawab Danish.
      “Lalu, bagaimana kamu menanggapinya?”balasku dengan nada yang sedikit sarkastik.
      “Aku hanya mendengarnya saja.”jawab Danish dengan suara yang lirih.
      “Benar.” ucapku sambil menyambut Danish dengan senyuman.
      Dan, Danish pun tersenyum dan bertanya dengan penuh semangat,
      “Lalu Ayah, artinya kita harus banyak mendengar daripada banyak bicara. Benar ‘kan Ayah??”
      “Benar sekali, Danish.”jawabku sambil tersenyum. Sebenarnya, meski Aku tahu bahwa setiap perkataan anak seperti Danish ini sangat mendasar dan kurang tangkap dengan apa yang kukatakan, tapi seiring waktu Ia akan terlatih untuk menemukan titik sunyinya bersama dengan kehidupannya kelak.
      Jam di arlojiku menunjukkan pukul 09.00, dan baru sadar Aku membawa Anakku berlarut dalam setiap pembicaraan yang sangat melelahkan. Namun, kulihat senyumannya, yang selalu membekas di hatiku sangat dalam.
      “Ayah, aku mau tanya sesuatu.”
      “Apa itu, anakku yang cerdas?”
      “Apakah aku telah berbuat salah kepada Ibu? Karena setiap aku makan, setiap hari seperti itu terus..”tanya Danish dengan sedikit menyesal.
      “Tidak. Kamu tidak bersalah. Kamilah yang salah. Besok Ayah akan mengajak Ibu untuk membuat menu masakan yang berbeda untukmu, dan adik-adikmu, ya.”jawabku dengan senyum simpul. Rasanya Aku ingin menangis, ketika Anak seusia Ia ini memiliki kejujuran yang amat tinggi atas ungkapan yang ia rasakan.Ia tidak ingin melukai hati kedua orang tuanya, seperti Aku dan Hanna. Mungkin saja, Ia juga telah mengalami kesunyian yang teramat berat ketika Ia terabaikan rasa kasih sayang daripada kedua adiknya.
      “Baiklah, ayo kita belanja untuk makan siang.”ajakku dengan penuh semangat.
      “Ok, Ayah.”jawab Danish.

Komentar