Cerpen #5: Pertengkaran


Pertengkaran
26/02/2019

Hari ini, Sabtu tanggal 26, Aku menerima banyak sekali agenda yang di janjikan jauh hari. Ada yang mengajakku untuk reuni SMP, pertemuan diskusi dengan komunitas, dan juga mendampingi kegiatan rihlah anak SMA ekskul Rohis.

Sebelum berangkat seperti biasanya, Aku bertatap pada cermin yang biasa ku sapa.

"Hai, bagaimana dengan urusanmu? Apa kau siap?"
"Entah, ya. Aku masih ragu."
"Mengapa kau masih ragu, kris?"
"Aku... Sedikit bingung tentang apa yang harus kuperbuat di dalam setiap perkumpulan tersebut."
"Haduh, begini ya Kris. Kau hanya perlu mencoba untuk melakukan yang terbaik dan yang itu bisa kau lakukan."
"Tapi, bagaimana jika aku hanya akan terlihat asyik dengan pemikiranku saja??"
"Ah sudahlah, tidak penting jika itu akan asyik di dirimu sendiri atau tidak sama sekali. Yang jelas, kalau kamu punya sesuatu yang baik buat mereka, tunjukkan saja yang terbaik bila kau mampu melakukannya. Setidaknya, kau sudah berusaha."

Akupun terdiam dan berpikir sendiri dengan ucapanku.
"Baiklah. Kali ini, pasti akan berhasil."

Aku tersenyum, sebagai tanda aku menyudahi pembicaraanku dengan 'dia yang ada di dalam cermin' diriku.

Setelah berpamitan dengan orang tua di rumah, aku tidak lupa berdoa agar perjalanan dan urusanku untuk bertemu mereka di mudahkan. Dengan kendaraan motor Honda CBR yang kukendarai, berikut dengan setelan jaket cokelat muda panjang yang di dalamnya dengan kemeja putih yang tergulung bersamaan, dan celana panjang jeans hitam tebal berikut sepatu panthopel. Perjalananku di mulai dari Kebun Binatang Ragunan. Di sana banyak anak-anak menantiku agar mereka bisa masuk, mengingat harus masuk dengan kartu Jakcard. Terlalu mahal untuk satu orang miliki, jadi aku harus mengisi pulsa kartu sebanyak kehadiran anak-anak yang sampai di Ragunan.

Setelah masuk dan mengawal rombongan, aku pun menjadi pembuka acara.

"Assalamu'alaikum wr.wb.."
Semua menjawab, "Wa'alaikumussalam.."
Tiba-tiba aku menjadi gugup, melihat paras seorang wanita bernama Sofiana. Ia sangat cantik sekali, dengan pakaian putih dengan jilbab pink panjang yang ia kenakan. Memang tidak sesekali aku seperti ini, setiap kali aku jadi pembuka acara dan kehadiran ia ada di depan mataku, hatiku mudah sekali terguncang tak terkira. Pikiranku menjadi sulit fokus, karena berharap agar ia memerhatikanku, namun ia sama sekali tidak melihat pandangannya sedikitpun kepadaku. Memang etika wanita di anjurkan untuk menundukkan pandangan pada yang bukan mahram, tetapi ini seakan-akan aku berbicara sendiri dengan ungkapan yang ber'putar-putar'.

"baik teman-teman yang luar biasa ini, terima kasih sudah datang dan hadir di tempat yang luar biasa ini. Memang kehadiran.... itu.... err... tidak se.. yah... maksudnya tidak begitu ramai, tapi... teman-teman datang aja gitu... iyaa.. Pokoknya..."

Dengan sigap, temanku Harry bergegas mengambil alih MC yang kubawakan.

"Iya, jadi begini teman-teman. Mentoring itu sebenarnya tidak cuma kita di kelas mendengarkan kata kakak Mentor saja, atau cuma makan-makan, tapi juga kita bisa loh ke sini jauh-jauh dari...."

Melihat reaksi Harry tanpa menjatuhkan posisiku, aku sangat merasa minder dan malu dihadapan semua anak-anak kelas X dan XI laki-laki dan wanita yang hadir di sana. Terasa bagiku di pukul oleh sebuah buku yang keras mengarah ke kepalaku. Sakit. Mungkin. Karena itulah selama serangkaian acara aku hanya bisa menunduk, dan sesekali mengusap sebagian kepala.

Setelah acara pembuka selesai, aku bertemu Harry di belakang peserta.

"Harry, aku mau minta.."
"Sudah, kris. Aku paham dengan keadaanmu. Nanti kalau kamu sudah selesai dengan dekorasi pos 2, kamu bisa istirahat sebentar. Tenang saja, ya."

Aku akhirnya mengambil sebotol air yang di sediakan meja panitia. Tiba-tiba saja, aku berbicara sendiri.

"Tuh, kan. Kau lagi-lagi membuat masalah!"
"Tidak, aku tidak sengaja. Aku bingung bagaimana cara aku menghadapi soal ini.."
"Soal apa? Mereka cuma manusia, weh. Dengar ya, aku tahu kau pasti jatuh hati sama Sofi itu. Tapi ingat, kau harus fokus. Di sini banyak orang akan menilaimu, mungkin ia juga akan menilaiku. Jadi, janganlah--"
"Aku sudah berusaha untuk mencoba fokus, tapi kau harus tau banyak sekali perasaan yang aku--"
"Perasaan apa? Perasaan itu bukanlah dugaan yang harus terus dibenarkan begitu saja, weh. Emang lu selama ini 'gak punya otak buat mikir?? Hah?! Coba dah, memangnya siapa yang peduli dengan perasaan lu jika lu peduli dengan perasaan mereka?? That's whole of bullshit, you know??!"

Pertengkaran dengan diriku sendiri ini, secara tidak sengaja di lihat oleh Sofiana dan temannya, Mawari.

"Hei, Kris. Lu kenapa marah-marah?"
Aku menengok ke belakang melihat Mawari bersama dengan Sofiana. Dengan cepat, aku mengambil botol yang kuminum, lalu beranjak pergi sambil berkata,
"Tidak apa-apa."

Wajahku yang penuh merah ketika mereka mendatangiku serasa menghantui diriku. Apakah ini karena pertengkaranku? Atau ini karena memang benar aku sedang kehilangan kepercayaan diri?

Pada pukul 12.00, aku meminta izin pamit oleh Harry karena harus melanjutkan agenda lain. Dan juga, aku berusaha untuk memulihkan rasa canggungku yang begitu akut. Hampir-hampir aku sampai membeli 5 botol air untuk minum, karena aku serasa semakin haus sehabis bertengkar dengan diriku sendiri.

Aku berhenti di sebuah masjid besar daerah Pondok Cabe, kemudian menuaikan shalat ashar, dan beristirahat sejenak di selasarnya.

Dan tiba-tiba aku memulai lagi pembicaraan dengan aku yang lain,

"Bagaimana, sudah merasa lebih baik?"
"Iya, aku JAUH lebih baik."
"Lalu, mengapa kau merasa sewot?"
"Tidak. Aku hanya masih kesal saja."
"Hmm, berarti kau masih belum--"
"Dengar, ya. Aku tahu ini sulit, tapi mohon untuk tidak membuatku malu lagi di muka umum. Ini konyol. Semua orang akan melihatku sebagai orang yang aneh seperti itu."
"Haha, aneh. Kau harusnya bersyukur, karena kau bukan bertujuan untuk melakukan tindakan buruk kepada orang sekitarmu. Orang yang aneh tidak selamanya buruk, mereka hanya ingin dirinya di pahami dan di mengerti akan keadannya. Kau kan selama ini sering berbicara dengan 'aku' tapi kau tak pernah membagikannya kepada orang lain. Tapi justru, kau hanya membagikan apa yang kau miliki--"
"Ah, sudah-sudah. Kau jangan membuat aku bertengkar lagi. Di sini rumah ibadah. Tidak lucu kita berteriak di tempat yang tenang seperti ini."

Pembicaraan mulai diam. Kemudian si 'aku yang lain' bertanya.

"Baik, sekarang kau akan kemana?"
"Komunitas sosial itu.."
"Oke, ingat. Kali ini, jadilah dirimu sendiri. Utarakanlah perasaan yang kau punya, oke?"
Aku menjadi tidak yakin untuk mengutarakannya. Sepanjang jalan aku hanya memikirkan sosok karakter leader komunitasku, Reggie. Dia sangat optimis terhadap peluang yang ingin ia capai, dan bersikeras tinggi untuk mendorong orang lain agar mereka bisa sepemikiran dengannya, jika ada yang tidak ia sukai, ia pasti ia akan berbicara tanpa henti agar ia puas mengeluarkan kata-kata perasaan yang tujuannya untuk membuat orang lain terenyuh dengan semua kata-kata yang memaksakannya itu.

Sesampai di sebuah café Upnormal, tepatnya di kawasan Taman Puring, aku menemui anggota baru, Lydia dan Siska. Mereka akan berencana untuk membuat program blogging di komunitas. Mengingat mereka masih belajar, aku mulai memberikan mereka beberapa konten tentang informasi penyakit kronis pada anak, dan beberapa cerita agar mereka semakin semangat menjalani kegiatan yang akan di gelutinya.

"bagaimana, Siska? Ada yang masih belum paham?"
"Iya, kak. Aku agak bingung aja, bagaimana untuk serius di komunitas ini?"
Mendengar pertanyaan tersebut, kang Reggie mulai merespon tiba-tiba, di mana saat ia sedang membantu Lydia proses pengrekrutan.

"Dengar, ya teman-teman semua. Ini adalah kegiatan komunitas kita. Kita perlu tahu bagaimana cara agar komunitas ini bisa berjalan serius. Tahukah kalian, banyak manusia di sekitar kita yang kurang peduli dengan hal yang bersifat sosial. Mereka hanya akan menganggap remeh kegiatan tersebut karena itu tidak menghasilkan uang sama sekali, apalagi kalian, yang cuma bisanya selfie cekrak cekrek tapi nggak melihat saat pendampingan kalian sedang--...."

Prolog dari kang Reggie yang sangat panjang dan lama sekali, membuat aku menyita waktu hampir 1 jam 2 menit untuk pergi ke acara reunian SMP ku. Sampai-sampai salah satu temanku, Dhiyo, meneleponku sekitar 2 menit yang lalu, dan miscall sebanyak 8 kali. Aku memang terlalu mudah fokus, jika ada orang yang sedang berbicara ini ingin di dengarkan. Hingga aku berpikir, tadinya aku kemari ingin menanyakan solusi, tetapi justru kang Reggie menimpaliku dengan banyak sekali kalimat yang aku tidak mampu mendesaknya.

Hingga pukul 18.16, aku mulai memotong.
"Baiklah, bang. Akan kuusahakan dan pertimbangkan kembali."
Itu saja. Dan setelah aku berpamitan kepada ketiganya, aku mulai lagi berbicara sendiri.

"Capek, kan?"
"Tidak, biasa aja."
"Lalu, mengapa kau terlihat lelah?"
Aku terdiam dan menyuekinya sampai aku mengendarai motorku menuju titik kumpul reuni di TengGo Pondok Indah.

Dan tiba-tiba tanganku bergerak sendiri dan memukul kepalaku yang tertutup oleh helm.

"Bodoh!! Bodoh!! Bodoh!! Kau seharusnya tidak perlu memikirkannya, kris."
"Diam!! Aku hanya ingin supaya ia mengerti dengan aku memahaminya--"
"Buat apa?? Tidak ada gunanya!! Kau hanya diperalat sampai kau harus tunduk dan ikut apa yang ia inginkan!!! Harusnya mereka bukan tujuanmu!! Tapi kenapa kau terlalu baik kepada mereka, bodoh!!??"

Aku di pukul oleh diriku sendiri sepanjang jalan, hingga aku tak tahu banyak kendaraan lalu lalang memerhatikan sikap 'bodoh' ku itu. Hingga akhirnya, setelah puas memukul aku berhenti sejenak untuk meminum seteguk air mineral yang kubawa. Setelah tenang, ia berbicara lagi kepadaku.

"Sudah kau pikirkan yang harus kau lakukan?"
Aku terdiam.
"Baiklah, jika kau tak punya pilihan. Aku hanya mengingatkan. Apa yang kau ketahui itu hanya kau yang mengerti. Jadi, jangan buat mereka bingung dari momen kesan pertamamu ini."
Akupun akhirnya menanggapi, "Iya, aku mengerti. H,Aku akan coba."

Setelah cukup tenang, adzan maghribli se tiba. Aku menuaikan dahulu shalat di dekat tempat yang akan di tuju, lalu berangkat.

Sesampainya aku di TengGo street, aku melangkah dan menuju sekumpulan orang-orang yang tidak asing ku kenal.

"Hai, orang ganteng tiba.." sahut Widi.
"Woi, bro. Dari mana aja lu? Lama amat, haha." ujar Dhiya.
"Eh, kris. Gimana kabar lu? Lu pasti capek banget ya jalan ke sini." sambung Bayu.
"Hai, Kris. Kamu rapi sekali setelan pakaiannya. Dari mana barusan? Abis kerja?" tanya Vinna.
"Wah, Kris! Lu semakin ganteng aja! Ke sinilah duduk, kita ngobrol bareng sama temen-temen." ucap Fatir sambil memberiku kursi untuk duduk.

Banyak sekali yang semakin penasaran denganku, sewaktu pembicaraan di grup WA aku mengaku bahwa aku bisa membaca kepribadian yang condong dari perilaku seseorang. Ada yang semakin penasaran dengan tipe yang kusebutkan, seperti Widi, Vinna, Fatir, dan Dhiya. Dan sisanya seperti Bayu, Angela, Faqi, Annisa, dan Nurul sedikit kurang memerhatikanku, dan bahkan ketika aku menebak tipikal Bayu yang dahulu ia sangat emosian dan mudah mengatakan kata kasar, ia hanya mengatakan,

"Ah masa sih, gw gak kayak gitu tau."
"Iya, bay. Serius. Dari pengalaman masa remaja juga memengaruhi loh. Soalnya lu itu karena tipe yang biasanya ingin mencari sensasi ribut untuk bermain dengan orang sekitar lu--"
Bayu kemudian sedikit membantah, "Nggak. Gw gak kayak gitu banget, sebenarnya. Kadang gw bisa tenang, kadang gw juga bisa asyik aja kalau orang itu bisa di ajak asyik.."
"Iya, gw mengerti. Tapi biasanya..."

Pembicaraan yang bergelut itu membuat justru Widi dan Vinni semakin penasaran dengan kemampuanku, ketimbang Bayu dan juga Faqi, yang sempat membenarkan dan mengakui perkataanku. Namun, aku melihat ia seperti menjarak batas pengetahuanku tentangnya seolah-olah hal yang bersifat pribadi baginya tidak mau terlihat di depan umum. Tapi, memang ia lebih enerjik jika ia menyampaikan pengetahuan yang ia ketahui. Jika ia tidak mengetahui dan sulit memahaminya, ia akan withdrawal. Lebih tepatnya, menjarak.

Aku menghabiskan waktu semalaman berbicara tentang setiap karakter dari teman-teman yang datang di tempat reunian tersebut. Hingga akhirnya setelah aku selesai dengan pembicaraan itu, aku melihat semuanya dan "aku yang lain" kemudian berbisik.

"Kau lihat, kan? Mereka semua memegang gadgetnya masing-masing. Mereka mulai tidak peduli lagi dengan apa yang sudah kau berikan semua itu. Lihatlah mereka!
Ada yang berbicara tentang minatnya.
Ada yang berbicara tentang pekerjaan yang ingin ia cari.
Ada yang berbicara tentang masalah hubungan kerja.
Ada yang berbicara kepada pasangan yang sudah berpacaran dari SMP.
Ada yang mengisi live music dan menyumbang suaranya.
Ada yang berbicara tapi tidak tahu lagi harus berbuat apa."

"Siapa yang tidak bisa berbuat apa-apa itu?" aku bertanya kepada diriku itu.
"Kau. Iya, kau Kris." jawabnya dengan nada ketus.
Aku terdiam.
Ingin terlibat, namun sejenak tiba-tiba badanku semakin kaku untuk di gerakkan. Aku sangat merasa malu. Untuk berbuat apapun rasanya sangat sulit. Ingin menyanyi di depan mereka agar dapat menunjukkan yang terbaik rasanya sulit sekali. Badanku, penuh dengan pikiranku yang tertumpuk prasangkaan yang buruk.

Aku bergegas ke kamar kecil. Mencuci muka sejenak untuk menyegarkan kembali pikiranku yang sudah mulai berantakan. Semua yang kulakukan terasa seperti tidak ada yang berarti. Entah mengapa, aku memikirkan hal itu terlalu berat. Namun satu hal pasti, mereka sudah cukup tersenyum dengan kedatanganku. Hanya saja, aku selalu merasa ganjil dengan hal itu.

Ketika semuanya berpulang ke masing-masing arah, Fatir menepuk bahuku sebelum ia berangkat.

"Kris, kalau gw lagi ada masalah mohon bantu ya."
Aku merasa bersyukur dan tersenyum mengatakan, "Baik. Akan kutunggu keluhanmu."

Dalam perjalanan, aku berbicara kembali kepada 'aku yang lain' itu. Dan kali ini, aku yang memulainya duluan.

"Bagaimana?"
"Apa yang bagaimana? Sudah jelas, kan?"
"Tidak. Aku bisa membuktikan bahwa kau salah."
Dia terdiam. "Lalu, apa yang salah?"
"Kau memberikan tubuh aku ini prasangkaan yang tidak baik baginya."
"Apanya yang tidak baik? Memangnya ada yang lebih baik dari--"
"Tentu saja ada. Aku mempelajari satu hal. Tentang apa yang ada dalam keinginanmu. Kau sebenarnya ingin sekali mewujudkan sesuatu tanpa harus membuat segala sesuatu menjadi beresiko, ya kan?"
Dia terdiam. Dan akupun meneruskan.

"Begini, ya. Semua adalah bagaimana pertemuan dan perpisahan yang kita ciptakan dapat membekas baik bagi kehidupan kita.

Pertemuan mengajarkan bagaimana dirimu bersinar begitu dekat dengan duniamu. Kita begitu dekat dengan dunia kita, karena saat itu kita memiliki tujuan untuk menerangi mereka, dan menghempaskan tirai penutup yang menjadi batas penghalang antara kita dengan dunia, agar dunia menjadi kenal dengan kita. Soal mereka akan beranggapan salah atau buruk, itu urusan mereka. Dan itu bukan tugas kita. Tugas kita yang pertama menjadi yang dapat cerah setinggi benda langit yang bercahaya.

Dan perpisahan, mengajarkanmu bagaimana dirimu mampu mengendalikan sinarmu agar tidak sampai menghancurkan duniamu. Kadang, yang bercahaya tidak harus mempertahankan sinarnya. Apakah kita mau orang tersebut membenci kita karena kelebihan yang kita perbuat malah mempersempit jalannya? Semua orang di dunia pasti tidak ingin itu terjadi. Karena itulah, adanya perpisahan dengan tujuan kita biarkan bekas cahaya yang tertanam dari mereka itu terus ada. Di sinilah, ia dapat memanggil kita di saat kita di butuhkan. Menjadi sebuah pengharapan yang besar namun tidak melebih-lebihkan kemampuan seolah yang merasa paling bisa. Kita juga manusia. Kita hanya perlu memahami setiap kehidupan memiliki zona berkembang untuk hidup dengan apa yang ia dapatkan dari sebuah pertemuan.

Maka, terasa indah bukan jika mereka bisa menciptakan sesuatu yang berarti di setiap orang dapatkan tentang kita?

Karena itulah, kita tidak boleh membuat diri kita ini terpuruk dengan keadaan. Pertengkaran kita seperti ini, harusnya tidak terjadi. Aku menghargai yang kau lakukan untukku, karena kau melihat aku tidak bisa menjadi yang harusnya kulakukan. Terima kasih, kau telah mendukungku terus menerus saat ini. Hingga malam tiba, kau tidak pernah membuatku merasa takut akan apapun. Karena, kau telah membuatku bagaimana aku dapat menikmati hidup ini dengan jalan yang kumiliki. Terima kasih, telah menemaniku sepanjang waktuku."

Air mata dengan seketika membanjiri wajahku. Dalam perjalanan aku hanya bisa menangis. Terharu dengan semua hikmah yang terjadi dalam satu hari bersama 'aku yang lain' ini. Aku tidak mampu lagi berkata selain hanya ingin tersenyum seolah-olah aku memeluknya dengan rasa syukur karena telah memiliki diriku yang begitu lengkap tanpa ada rasa kurang sedikitpun.

Yang membuatku merasa kurang adalah, pikiranku sendiri.


-Zong-

Komentar