Cerpen #3: Berani Bermimpi


Berani Bermimpi
15/10/2018

Perjalanan dalam menjelajahi mimpi tidak akan pernah berakhir,
Hampir dari setiap manusia yang lahir di muka bumi ini dengan seiring berjalannya waktu, mereka mulai mengenal istilah intuitif yang bersifat fiksi, belum terwujud, tetapi memiliki muatan yang membawa ‘sesuatu’ di dalamnya dan berdampak sentuhan yang kuat hingga kelima indera manusia tak sanggup untuk menjangkaunya.
Impian. Sebuah mimpi yang tumbuh dan bergerak, serta membawa pengaruh terbesar bagi setiap manusia yang memilikinya dan mewujudkannya.
Sebuah impian itu tidak sembarangan ada di dunia yang nyata ini dan tidak semua bisa mewujudkannya hingga akhir. Banyak orang mempertanyakan mengapa ia bisa memiliki impian, bagaimana ia bisa merasa punya kehendak untuk mewujudkan sesuatu yang di luar dari kenyataannya, dan atas dasar apakah ia memiliki keinginan itu untuk di wujudkan.
Tidak sedikit elemen dari jiwa manusia, yang memiliki potensial dan kapabilitas yang berbeda, yang ingin berlomba-lomba untuk menemukan arti dari sebuah impian mereka sesungguhnya. Di lalui berbagai perseteruan, persaingan, pertarungan, perlawanan, hingga berujung pada pengadilan, teruntuk kepada setiap di antara mereka yang ingin terunggul dan terhebat dari impian yang ia wujudkan. Namun, apakah ini akan terus terjadi, di mana satu orang harus merebut kuasa atas impian yang ia inginkan dan mengentaknya ke setiap penjuru jiwa manusia? Bagaimana jika impian setiap dari jiwa manusia itu di persatukan? Entahlah. Di mulai dari sinilah, aku akan mencari tahu jawabannya.
(I)
“Hei! Bangun, mas.”
Terbukalah mataku, dengan melihat keramaian kota Jakarta yang cukup terik ini. Segera aku terperanjat bangun dan bertanya.
“Maaf bu, tadi saya sedang menunggu bus 70,”
“Sudah lewat, mas. Harusnya tadi kalau mau menunggu jangan di sini. Banyak banget maling di terminal ini, mas. Hati-hati,”
“Iya, bu. Saya tadi sedikit kelelahan,”
“Yah sudah, saya pergi dulu ya mas.”
“Terima kasih ya, bu.”
Tidak menyangka Ibu yang barusan mengingatkanku perihal untuk tidak tidur di sebuah balkon halte terminal bus ini. Padahal, bagiku itu adalah hal yang biasa. Aku memang biasanya tertidur kalau tidak di balkon halte ini, pasti tertidur di belakang emperan toko masakan padang yang ada di samping terminal karena harumnya masakan yang mereka sajikan. Terkadang bagiku, kepedulian semacam Ibu itu barusan hanyalah omong kosong saja. Kalau ia memang peduli membangunkanku, mengapa ia tidak menyediakanku bantal bagiku untuk tidur lebih nyaman, mengapa ia tidak memberiku segelas air untukku minum jika ia mengetahui betapa lelahnya aku yang berjalan hingga belum mendapat seteguk air sedikitpun. Atau, mengapa ia tidak mengajakku untuk mengobrol sejenak dan berbagi kisah yang ia alami sepanjang hidupnya. Memang, hal sejelimet semacam itu hanya sedikit orang yang memerdulikan atau sebagian orang yang sejenis denganku, atau jangan-jangan hanya aku yang memikirkan hal demikian.
Hidup sebatang kara dengan hanya bermodalkan identitas diri, pakaian, serta uang yang seadanya tidak menjadi pilihan bagiku untuk tetap hidup. Namun, satu hal penting yang ku miliki hingga saat ini. Belajar. Modal rasa ingin tahu dengan apa yang sedang terjadi di dunia yang akan ku tinggalkan nanti. Kata orang, jika kita tidak bekerja maka impian kita tidak akan terwujud. Bekerja? Apakah hanya itu saja yang ada di pikiran manusia? Ataukah, mereka hanya ingin mendapatkan seonggok benda kertas yang katanya itu bernilai dan itu di sebut ‘uang’? Omong kosong. Bagiku bernapas dan bergerak sudah bagian dari nikmat yang ku rasakan. Tetapi, yang menjadi pertanyaan penting adalah ‘mengapa manusia masih ingin mengejar impian?’. Memang apa yang special dari memiliki sebuah impian? Toh, setiap manusia juga pasti akan mati. Biar orang mengatakan aku seperti gelandangan yang mereka pikirkan, tetapi aku juga sama seperti mereka. Mempelajari agama, membutuhkan makan, minum, serta rasa ingin tahu yang mendalam. Serta, mencari peluang untuk menikmati hidup yang serba apa adanya.
Namaku Andy. Namaku memang keren, karena aku dahulu adalah anak dari pejabat perusahaan yang terkenal di kota besar ini. Namun, hanya karena kasus penggelapan ‘benda kertas’ yang beliau perbuat, ayahku di penjara namun entah berada di mana persisnya. Ibuku meninggal yang katanya di saat aku masih berusia 4 tahun. Menurut pengakuan ayah, aku adalah anak satu-satunya. Menurut asumsiku, sebab hanya aku yang lahir dari pernikahan ayah dan ibu karena keduanya hanya sibuk bermandikan ‘benda kertas’ setiap waktu yang entah saat itu aku sedikit teringat aku berada di atas ranjang tempat tidur yang kecil itu sedangkan keduanya sedang terlihat berada dalam kamarnya dan menimbulkan ‘kegaduhan’ yang asing di telingaku. Jadi bisa di katakan, terhitung hampir 20 tahun keduanya tidak memberikanku pendidikan yang mendasar tentang bagaimana berperilaku, berpikir, berbicara, dan bertindak sebaik-baik yang manusia harus ajarkan. Ayah hanya mengajarkanku bahwa jangan pernah peduli apa yang di katakan orang lain tentangku atau apa yang ku lakukan sebagai diriku. Kalau aku mengantuk, tidur saja. Kalau aku lapar, makan saja. Lihat sekelilingku yang bisa ku manfaatkan, maka wujudkanlah. Hingga saat aku SD, aku terlibat dalam perkelahian. Saat SMP, aku terlibat dalam perampasan hak milik orang lain. Dan saat SMA, aku terlibat kasus pelecehan terhadap perempuan. Entah apa yang di pikiranku, segala masalah yang ku alami seringkali mudah sekali tertutup rapat hanya karena ayahku yang menyodorkan segenggam lembaran ‘benda kertas’ yang di tawarkan mampu membuatku lolos dari segala kriminalitas di usia remaja itu.  Namun, semenjak ayahku tertangkap karena kasus korupsi itu, semua aset dan perusahaan ayahpun di sita dan di ambil oleh pihak berwajib. Lha, kalau ayahku yang korupsi mengapa tidak ayah kembalikan saja uang yang beliau gelapkan sehingga beliau tidak di penjara?. Memang, tinggal di negeri ini cukup aneh dan mengherankan untuk orang sepertiku yang tidak mengenal persoalan semacam itu. Yang jelas, aku hanya bermodalkan ‘benda kertas’ seratus ribu rupiah sebanyak 100 lembar. Dan bagiku, itu tidak banyak. Sedikit sekali. Maka tidak heran bahwa aku tidak takut bila maling atau siapapun mengambil apa yang ku miliki. Bagiku, semua kehidupanku telah selesai. Aku merasa ingin menyudahi hidup ini yang orang bilang ‘penuh kesia-siaan’ tetapi bagiku ‘tinggal menunggu ajal’ saja. Tentu saja, karena aku tidak tahu apa itu ‘impian’, bagaimana itu di wujudkan, dan mengapa mereka bisa ‘ada’, sedangkan wujudnya tidak terlihat. Itulah yang sering di bicarakan banyak orang yang merasa ‘sukses’ dan merasa ‘yakin’ hidupnya dapat berubah. Untuk hal semacam ini, aku tidak percaya. Karena sama seperti melawan takdir. Jika aku hari ini kaya dan besok sudah miskin, yah kalau begitu buat apa menjadi kaya lagi kalau miskin saja belum pernah?. Hampir semua orang itu, terlalu banyak memandang sesuatu yang baik bagi mereka tanpa merasakan apa yang mereka pandang itu buruk bagi mereka untuk ke depannya. Yah, pepatah ada yang mengatakan “jika belum siap minum perahan susu sapi, jangan mencoba untuk meminum pi**s sapi dahulu”. Bagiku itu adalah hal yang bodoh dan sia-sia, karena mereka ingin menuju sesuatu tanpa persiapan atau tidak memulai langsung sehingga ia melakukan hal yang menyia-nyiakan dengan bertujuan agar mendapatkan segelas susu. Seperti itulah, sekelumit dari kehidupanku yang dari menjelang pagi hingga menjelang malam, pergi mencari satu tempat untuk singgah, kemudian pergi lagi mencari tempat untuk bisa beristirahat lebih nyaman.  Pertanyaan lagi, mengapa tidak aku sewa hotel atau rumah agar aku tetap tinggal lebih nyaman seperti apa yang di rasakan banyak orang? Sederhana, karena aku sudah memilih jalan hidup yang ‘berbeda’ dari orang kebanyakan. Tidak ada pajak, asuransi, kendaraan, ataupun fasilitas yang hanya bisa membuatku harus menanggungnya.
(II)
“Hei, bangun,”
Lagi-lagi aku terbangun oleh seseorang. Kali ini oleh seorang perempuan muda separuh baya.
“Hei, memang siapa anda? Membangunkan orang seenaknya!”
“Ini tempat orang sholat mas. Di sini tertulis bagi pengunjung untuk tidak tidur di masjid ini mas,”
Baru kali ini, seseorang yang menegurku ini punya tutur kata yang tidak biasa. Bahkan tidak di temukan saat seperti aku berbicara pada ayahku yang selalu memerintah dan membentak tidak jelas.
“Hmph! Baiklah, kalau begitu saya pindah dari sini!”
Lalu akupun beranjak pergi, tiba-tiba.
“Hei, mas!”
“Apa lagi?”
“Dompetmu tertinggal,” sambil menyodorkan dompetku yang tertinggal.
“Terima kasih.”
“Ternyata kau tahu ya cara berterina kasih.” Ucap perempuan itu sambil nyengir.
Akupun diam dengan tatapan kosong, lalu pergi mengalihkan pandanganku padanya. Dan sejenak aku berpikir,
“Memangnya siapa sih dia? Bisa peduli dengan apa yang ku lakukan?” gerutuku sambil berjalan keluar dari masjid. Tiba-tiba saja aku terpikir sesuatu dan menghampiri kembali perempuan penjaga masjid itu.
“Hei!” teriakku.
Perempuan itu menoleh, “Kamu memanggil saya? Ada apa lagi?,” jawabnya dengan nada remeh.
“Saya mau bertanya sesuatu.”
“Apa itu?,” Perempuan itu kemudian mulai penasaran.
“Mengapa manusia sampai saat ini masih ingin mengejar impian?”
Pertanyaanku membuat wajah perempuan itu mulai memerah. Nampaknya ia terlihat marah atas pertanyaanku yang remeh itu. Akhirnya ia pun menjawab,
“Karena impian adalah kesempatan bagi manusia agar dapat kembali sebelum mati menjemputnya nanti,” jawabnya dengan nada tegas.
“Kesempatan apa? Manusia itu ‘kan ma….”
“Kesempatan bagi manusia yang sebenarnya adalah dengan menjalani segala aspek kehidupan ini dan membawa manfaat yang baik di alam kematian nanti.”
Pembicaraanku yang terpotong itu seakan-akan terhempas bagaikan pasir yang berterbangan dan terbawa oleh angin yang berhembus kencang. Kemudian ia kembali bertanya kepadaku,
“Pernahkah kamu berpikir apa yang akan kamu bawa saat kamu mati?”
“Tidak ada,”
“Tentu saja ada. Hanya saja kamu tidak banyak belajar dan tidak mengetahuinya,” sahut perempuan itu dengan tersenyum.
“Namamu siapa?,”
“Andy.”
“Aku Melisa. Panggil saja Lisa.”
Kami berkenalan hanya dengan menepuk kedua tangan tanpa menyambut dengan penjabatan. Dan, dari perkenalan inilah aku mulai kembali menemukan sesuatu yang tidak ku ketahui.
(III)
“Mengapa kamu mengatakan bahwa manusia akan membawa sesuatu saat kematian?”
Pertanyaanku mulai berlanjut. Tepat di bawah atap yang di dirikan oleh kayu besar yang tegak, hingga teriknya matahari tidak dapat mengganggu pembicaraan kami yang cukup serius ini.
Lalu, Lisa pun mulai menjawab, “Karena Allah menciptakan manusia itu tidak sekedar hidup saja. Tidak sama seperti hewan, tumbuhan, gunung, dan makhluk hidup lainnya. Jika kamu memerhatikan segalanya di sekitarmu dengan baik, maka kamu pasti akan berpikir. Berbeda dengan makhluk lain, mereka semua tidak bisa berpikir. Hanya golongan seperti kitalah, manusia, di ciptakan sebagai makhluk yang pasti akan menimbulkan dua hal, antara perubahan atau kerusakan,”
“Jika manusia di ciptakan agar dapat membawa perubahan, mengapa Allah ciptakan manusia sebagai perusak?” tanyaku dengan antusias.
“Manusia bukan Allah ciptakan sebagai perusak, tetapi manusia itu sendiri yang dapat menentukan nasibnya sendiri. Antara ia akan menjadi agen perubahan dan pengaruh yang baik bagi kehidupan atau ia akan menjadi perusak alam dan kehidupannya.”
“Menentukan nasib sendiri, ya? Lantas, nasib apa yang harus di tentukan oleh manusia itu sendiri? Lagi pula, setiap jiwa seperti kita pasti akan mati. Jika kita bisa membawa perubahan dan kemudian kita menghadapi kematian yang tidak di duga, itu berarti kita telah melakukan hal sia-sia, dong? Karena perbuatan yang kita lakukan sama sekali tidak memiliki wujud yang nyata untuk di bawa kembali kepada Tuhan!”
Emosiku lalu memuncak. Dan seketika pembicaraan kami berhenti sejenak. Hanya suara angin yang berhembus kencang dan pohon-pohon mulai menggugurkan dedaunan yang tepat berada di puncaknya. Lisa pun terdiam, seperti tidak dapat menjawab apa yang ku bantahkan.
“Jadi, itu sebabnya mengapa kamu bertanya tentang impian?” jawabnya dengan suara yang lembut.
Aku pun menggangguk.
“Andy, itulah mengapa semua orang ingin memiliki impian. Manusia itu adalah salah satu makhluk ciptaan Allah yang tidak sama dengan makhluk lainnya. Kita pasti sudah mengetahui, bahwa setiap proses kehidupan ini semua makhluk akan mengalami proses yang sama. Iya, pembusukan. Semua makhluk akan mengalami hal tersebut. Kamu tahu mengapa? Karena manusia dan makhluk lainnya adalah sama di mata Allah, ndy. Semua makhluk senantiasa hidup dengan jalannya masing-masing. Lantas, bagaimana cara agar kita tetap merasakan kehidupan yang kita jalani begitu indah dan impian yang kita wujudkan begitu nyata? Caranya adalah, jangan pernah berhenti berharap kepada-Nya. Kepada Allah semata. Mungkin kita tidak pernah tahu, bahwa setiap hembusan napas yang kita hirup selama ini menggerakkan proses pembusukkan di dalam tubuh kita. Iya, itu adalah paru-paru kita. Paru-paru yang kita miliki sama umumnya dengan AC (air conditioner), jika semakin banyak udara yang masuk bersama dirinya maka semakin banyak pemupukan dan semakin kotor di dalamnya. Kita tidak pernah tahu, penyakit apa dan tanda-tanda apakah yang datang ke tubuh kita sementara kita belum melakukan apa-apa. Itulah sebabnya mengapa di antara kita ada yang mati begitu cepat karena ia tidak memiliki impian, ia tidak menggerakkan impian menjadi kenyataan! Terasa takut bagi kita seandainya kita mati secara tiba-tiba tanpa melakukan hal-hal yang baik kita lakukan.
Bayangkan saja, jika kita mati dengan sia-sia, merasa hidup ini apa adanya, tidak melihat sekitar, berpasrah pada nasib yang di tentukan oleh orang lain atau keadaan, apakah ini yang namanya hidup? Bukan. Itu adalah kamu menghadapi kematian secara perlahan lahan tanpa membawa kebaikan untuk diri sendiri dan orang lain. Sejatina jika kamu perlu tahu, hidup ini bukan masalah uang, dan bukan masalah nasib. Tetapi, hidup ini adalah bagaimana kamu berani untuk bermimpi. Bermimpi untuk mewujudkan impian, impian adalah suatu konstelasi makna yang kita sendiri yang merajutnya, dan kita sendiri yang dapat tentukan, apa yang ingin kita lakukan di dalam kehidupan kita ini. Jika kita memiliki impian satu impian saja yang kita ciptakan maka dengan keseriusan unutk menjalaninya, dengan lapang dada kamu bawa tubuhmu untuk bergerak, dan dengan ikhasnya hatimu untuk kamu langkahkan jalanmu menuju ke sana, maka hanya dengan kamu miliki impian kamu bisa merubah segalanya!!! Kamu bisa merubah segala kesulitan menjadi kemudahan. Kamu bisa merubah keadaan yang buruk bagimu menjadi baik bagimu. Kamu bisa menciptakan sesuatu dari apa yang orang lain tidak bisa ciptakan untuk berperan di dalam keidupan yang luas ini. Kamu tidak perlu merasa terpuruk jika musibah menimpamu, karena boleh jadi kamu yang sekarang ini sedang di sadarkan oleh Allah atas perbuatanmu yang lalai dari mengingatNya, lalai untuk menyadari betapa ajaibnya hidup ini jika kamu bergerak, kamu berusaha,, kamu capai seagala sesuatu yang kamu inginkan.”
Apapun masalahmu, aku memang tidak tahu. Yang jelas, kamu akan mengerti bahwa, semua orang di dunia ini pasti memiliki impian. Semua orang di dunia ini masing-masing mewujudkan impiannya sesuai yang mereka inginkan. Maka jangan heran, ada yang berhasil ada juga yang tidak berhasil. Mengapa? Karena tidak semua mereka yang berusaha mewujudkan impiannya, mereka tidak ingat kepada Allah. Maka dari itu, sempatkan lah sisa waktu hidupmu untuk mewujudkan sesuatu yang berarti bagi dirimu dan orang sekitarmu. Jangan pernah berhenti bermimpi, beranilah bermimpi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahu dan Maha Dekat akan prasangkaan dan keinginanmu. Jika kamu berusaha untuk mengejar impian itu, maka Allah akan dekatkan kamu kepada impian yang kau inginkan itu. Yang penting, kamu harus berani menciptakan impian, berani mewujudkan impian, dan berani menyuarakan impianmu hingga semua penjuru bumi tahu bahwa kamu adalah orang yang berhasil. “
Seketika aku menangis, tiada henti air mataku mengalir. Perkataan Lisa yang penuh semangat itu bisa meluluhkanku. Akupun mulai bertanya kembali.
“Lalu, jika manusia sudah memiliki impian, mengapa mereka saling memerebutkan apa yang mereka inginkan di hadapan manusia?”
Lisa pun tersenyum dan menjawab, “Karena hidup ini juga mengajarkan bagaimana kita berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan.”
Aku pun menggangguk dan terdiam. Kemudian Lisa pun melanjutkan.
“Jika manusia sudah sama-sama memiliki impian, mengapa mereka saling memerebutkan kekuasaan, kehebatan, serta keegoisan mereka untuk mewujudkan impian mereka? Karena terkadang inilah mengapa Allah mengatakan bahwa manusia bisa membuat kerusakan di muka bumi ini karena mereka sama-sama berbuat dengan jalan yang tidak baik di sisi-Nya. Berbagai perseteruan, persaingan, pertarungan, perlawanan, hingga berujung pada pengadilan, teruntuk kepada setiap di antara mereka yang ingin terunggul dan terhebat dari impian yang ia wujudkan. Namun, apakah ini akan terus terjadi, di mana satu orang harus merebut kuasa atas impian yang ia inginkan dan mengentaknya ke setiap penjuru jiwa manusia? Aku katakan TIDAK. Perihal semacam ini bisa di kendalikan, meski tidak bisa di hilangkan dalam kodrat tabiat manusia. Ada yang pernah mengatakan bahwa kehidupan manusia itu di penuhi keegoisan, kebencian, dan harapan. Memang itu hanya berkaca pada satu atau beberapa orang yang menyimpulkan secara garis besarnya, tetapi, apakah kita lupa bahwa kita memiliki impian? Tentu saja tidak lupa. Dengan adanya ujaran-ujaran keburukan yang muncul di setiap benak manusia, maka peran kita adalah harus bisa menjadi orang yang datang membawa perubahan dan perbaikan. Ketika kita peka dengan rangkaian kehidupan yang tidak seimbang, kita pasti akan merasakan rasa sakit, keresahan, kekhawatiran, dan ketakutan. Namun, apakah nasib kita akan bergantung kepada hal-hal demikian? tentu saja tidak. Kita masih punya impian. Kita masih bisa wujudkan dengan menyembuhkan semua itu dengan membawa segala impian kita untuk menyembuhkan dunia dari segala keburukan. Tidak akan terasa sulit apabila semua itu bisa di wujudkan bersama dengan orang-orang yang sepemikiran dengan kita. Orang-orang yang berkeinginan untuk menggabungkan semua impian-impian yang kita rajut bersama demi mencapai kebahagiaan secerah matahari terbit dan menyongsong sinarnya yang hangat. Karena itu, bermimpilah dan wujudkanlah bersama orang-orang yang ingin menggapai impian selaras dengan apa yang kamu inginkan.”
Senyumku tersimpul di wajahku dengan penuh semangat. Entah darimana perasaan ini tidak kudapatkan dari 20 tahun sebelumnya, dan kini aku merasa hidup kembali.
Aku pun akhirnya berpamitan dan izin untuk pergi untuk menjelajah kembali. Namun, sebelum aku pergi..
“Baiklah, Lisa. Kalau begitu, berikanlah aku sedikit waktu untuk membangun impianku.”
“Apa impianmu, ndy?”
“Untuk merangkai kehidupan yang baru kelak bersamamu.”
-END-


Komentar