Cerpen #2: Kejujuran yang Pudar


Kejujuran yang Pudar
18/02/2019

"Hentikan!! Jangan kau ganggu temanku."

"Lu kira ia menganggap lu sebagai teman?? Hah??!!"

Sekumpulan anak SD di sebuah pekarangan belakang sekolah terjadi keributan saat sedang waktu istirahat berlangsung. Perkelahian seorang anak laki-laki, berambut pendek berponi, celana merah pendek yang lusuh karena terjatuh sehabis melerai seseorang yang ia bela, hingga pakaian putihnya pun ikut kotor. Ia menghadapi empat anak laki-laki yang sebaya dengannya, menantang anak itu untuk berkelahi.

"Danish, sudah. Nanti kamu di laporin loh sama Bu Guru."

"Apa sih Sicyl! Nggak usah ngadu-ngadu deh."

"Udah deh, hajar aja tuh anak. Biar tahu rasanya abis ngelawan sama kita," ujar salah satu dari keempat anak itu. Ia bernama Rusky. Anak orang kaya yang senangnya membuat berita bohong, dan suka sekali memberi "nama" kepada orang lain yang sering di anggap kata yang kasar.

"Jangan, deh. Nanti kita malah di aduin sama Bapaknya. Kan Danish itu anak mami.. Ha ha ha." ejek Arid. Ia sebenarnya terkenal sebagai anak teladan, ramah dengan setiap orang, dan terlihat alim saat menjadi muadzin di sekolah. Tapi, ia kadang suka sekali ikut-ikutan dengan apa yang Rusky lakukan, mengingat ia juga punya banyak teman karena punya banyak uang yang ia belanjakan ke teman-temannya.

"Haa dasar anak mami..!! Makan tuh, telor gulung!" ujar Friski. Sama seperti Arid, suka ikut-ikutan namun ia lebih parah. Ia berani mengatakan sesuatu yang "tidak pantas" dan kadang ia juga sering melihat apa yang ku lakukan di sekolah saat sendirian, terutama saat aku hanya jajan telor gulung, ia sangat mudah mengejekku habis-habisan.

Dan satu lagi bernama Hilman. Ia pendiam saja ketika ikut bersama geng-an dari mereka. Entah buat apa dia berdiri jika hanya untuk mengejekku atau orang lain. Ia jarang sekali tersenyum, apalagi untuk tertawa yang terbahak-bahak seperti Arid dan Friski saat orang lain dalam keadaan sulit.

Dengan langkah cepat, Rusky menarik kerah bajuku dengan tangan kiri dan menggepalkan tangan kanannya untuk memukul.

"Danish, rasakan!!"

Aku hanya tertutup mata. Dan tiba-tiba bel masuk kelas berbunyi dan seorang satpam berlari sambil meniup peluit dari kejauhan.

"Eh ada pak Mamit! Lari buruan!!" Arid berteriak sambil mengajak Rusky, Friski, dan Hilman untuk berlari menuju tangga ke lantai dua sekolah.

"Hei!! Awas kalian ya!" beliau berteriak sambil mengacung-acungkan tongkat pukul yang ia bawa kepada mereka.

Pak Mamit, begitulah panggilannya. Beliau menjadi satpam sekolah sejak kakakku sekolah juga di sini. Kemungkinan sudah hampir 12 tahun. Beliau adalah sosok yang sangat penyayang dengan anak-anak, sangat menjaga ketertiban sekolah apalagi saat ada keributan ataupun bahaya mengancam sekolah. Seperti adanya curanmor, pencurian, dan pernah sekali beliau menyelamatkan anak yang hampir jatuh dari lantai 3 karena ia menduduki pegangan untuk bersandar. 

"Kamu di apain Danish sama mereka? Mengapa kamu tidak melapor kepada Bapak?"

Sicyl merespon, "itu pak, tadi.. "

Aku langsung menutup muluy Sicyl dengan tangan kananku dan mengatakan,

"Tidak pak. Mereka hanya sedang bercanda."

"Kalau bercanda , jangan sampai kelewatan ya! Bapak akan laporkan ke Kepala Sekolah jika mereka memang mengganggu ketertiban."

"Baik, pak. Terima kasih ya, pak."

Pak Mamit pun pergi. Sicyl langsug berbisik sambil mengomel.

"Ih, Danish. Kenapa kamu tidak mengatakan yang sejujurnya?"

"Tidak. Aku tidak mau kena masalah lagi."

"Tapi kan, ah aku bingung sama kamu. Kamu aneh."

Sicyl pun pergi tanpa sedikitpun berterima kasih karena akulah ia tidak di bully oleh keempat anak itu. Justru, aku yang harus babak belur karena membela dia dari mereka.

+++++++++++++++++++++++

Sepulang sekolah aku pulang jalan kaki menuju rumah. Banyak anak-anak sebayaku yang pulang dengan kendaraan, adapun yang memesan ojek online, dan ada juga yang pulang bersama sekawannya. Kadang aku kasihan bercampur iri. Dengan mereka yang memiliki semua itu. Memang aku iri dengan mereka, tapi aku juga kasihan. Karena mereka sudah memiliki segalanya, tapi mereka masih senang sekali mempermainkan aku seperti permainan yang bisa di rusak. Aku tidak pernah mengadukan semua ini selama 4 tahun sekolah di SD Lembah Tiga ini. Selama bergaul, aku hanya bercerita kepada orang tuaku kalau aku tipe orang yang ceroboh. Padahal tidak. Di mulai dari sepatu rusak, celana yang tertempel permen karet, kantong baju yang koyak, bahkan dahi yang membiru ini hanya aku anggap karena jalan tidak pernah lihat ke depan. Sebenarnya, aku memang tidak pernah fokus untuk berjalan. Tapi, semua hal itu menimpaku hanya dengan sekian detiknya.

Saat pulang sekolah, tepat 5 meter jauh dari sekolah aku melihat sosok dari kejauhan. Dan nampaknya itu Sicyl yang sedang menangis tersedu-sedu di depan Ayahnya. Dengan diam-diam aku bersembunyi di belakang pohon dekat mobil Ayahnya Sicyl supaya pembicaraan mereka terdengar jelas.

"Ayaaah, aku merasa kasihan sama temanku Danish. Dia anak yang baik sekali, tapi aku sering melihat dia selalu di jahili oleh teman-temannya yang jahat itu, yah. Karena itu tolong aku, Ayah. Aku tidak tahu harus bagaimana.."

Sang Ayah hanya tersenyum dan memeluk Sicyl dalam dekapannya. Mendengar ungkapan Sicyl, aku semakin sadar bahwa ia adalah teman yang baik. Dari sekian puluhan anak di kelas, dia adalah teman yang bukan sekedar seorang teman. 

Saat aku ingin diam-diam pergi meninggalkan keduanya, tiba-tiba aku menginjak kulit pisang yang berserakan di bawah pohon hingga aku terpeleset jatuh.

Mengetahui aku terjatuh di depan Sicyl dan Ayahnya, Sicyl kemudian menghampiri.

"Danish, kamu bagaimana sih? Jalan kok tidak lihat-lihat pake mata?? Kamu baru saja lewat?"

Ucapan polos Sicyl itu sepertinya ia berusaha menutupi apa yang barusan ia katakan. Lalu, Ayahnya Sicyl kemudian memanggilku.

"Nak, Kemarilah."

"Ada apa, pak?"

"Maukah kamu pulang bersama Om? Naik mobil bersama Sicyl juga."

Baru pertama kali, ada seseorang yang mengajakku untuk naik kendaraan mobil pribadi. Dan itu mobil dari Ayah temanku sendiri.

Aku sedikit ragu dan bertanya, "Apakah tidak apa-apa, Om?"

"Tentu saja, nak. Mari masuk."

Sambil memasuki kendaraan Honda Civic putih itu, aku merasa ada yang memperhatikan pembicaraan. Tapi entah mengapa, firasatku menjadi tidak menentu.

++++++++++++++++++++++++++++

"Murid-murid, saya ingin meminta agar Arid, Friski, Hilman, dan Rusky untuk ikut Ibu ke kantor Kepala Sekolah. Nanti setelah ini, Ibu akan memanggil Danish dan Sicyl untuk menemui Ibu. Mohon yang lain untuk kembali mengerjakan lembar kerjanya, ya."

Akupun mulai gugup. Semua teman-teman kelasku mulai membicarakan peristiwa itu di kelas, terheran-heran hingga lembar kerja siswa (LKS) mereka tidak di kerjakan. Beberapa dari mereka bertanya padaku, atau Sicyl, tentang masalah apa yang sedang terjadi. Namun kamipun sejujurnya tidak mengetahui mengapa Ibu Ani memanggil. Selang tiga puluh menit, Ibu Ani memanggil kami.

"Danish, Sicyl. Mari ikut Ibu kemari."

Dengan perasaan khawatir inilah, aku memberanikan diri untuk mengikuti Ibu Ani. Aku hampir sempat berpikir bahwa Pak Mamit telah melaporkan keempat dari mereka. Namun, aku sendiri tidak melaporkan sedikitpun tentang masalah kemarin itu kepada beliau.

Dan ternyata, dugaanku benar. Ketika aku dan Sicyl memasuki ruang Kepala Sekolah, di sana sudah hadir Pak Bradi, kepala sekolah kami, lalu keempat dari mereka, dan Pak Mamit. Aku mulai bingung tentang siapa yang melaporkan mereka.

"Baiklah, Hilman. Saya sangat menghargai atas kejujuranmu itu, tapi hukuman tetaplah hukuman. Kami dari pihak sekolah sangat menyayangkan siswa yang berprestasi melakukan hal seperti itu.."

Mendengar ucapan tersebut, aku membela dan memotong pembicaraan.

"Maaf, pak. Hilman tidak bersalah. Ia tidak pernah mengganggu kami. Tapi, ia hanya berteman saja dan tidak ikut-ikutan mengganggu kami."

"Lantas, mengapa kamu tidak melaporkannya ke pihak kami?? Mengapa Hilman yang justru melapor??" sahut Pak Mamit dengan nada ketus.

"Sudah-sudah. Yang penting sekarang masalahnya sudah di laporkan.  Bagaimana, pak?

Pak Bradi bertanya kepada Hilman, "Hilman, mengapa kamu tidak melerai atau mencegah ketiga temanmu ini? Mengapa kamu membiarkan mereka menyakiti Danish dan Sicyl?"

Hilman akhirnya menjawab, "karena aku takut di bully juga sama mereka, pak."

Pak Bradi pun mengangguk. Lalu, Hilman pun meneruskan alasannya.

"Dahulu aku merasa sangat sendirian. Aku takut bila aku yidak memiliki pergaulan. Semenjak ada Rusky, ia selalu melindungiku. Begitupula ada Arid, yang selalu membantuku tugas sekolah yang sulit. Dan Friski juga, ia suka menjadi tempat saya bermain dan bercerita. Tapi, aku tidak tahu mengapa mereka suka sekali menjahili teman-teman di kelas. Aku hanya mengikuti mereka, tapi aku tidak berani meniru gaya mereka. Ingin aku melerai, tapi aku takut mereka menolakku. Ingin aku mencegah, tapi aku takut mereka akan membenciku."

Air mata Hilman mengalir derasnya. Lalu, ia masih meneruskan ceritanya.

"Dan aku sebenarnya ingin meminta maaf kepada Danish dan Sicyl di depan Ayahnya Sicyl sewaktu aku bersembunyi di balik pohon, tetapi aku takut Ayahnya akan memarahiku. Aku hanya bisa menangis dan menyesal dengan perbuatanku."

Danish pun menghampiri Hilman dan menepuk pundaknya,

"Tenang saja, Hilman. Kamu tidak salah. Aku sudah memaafkanmu. Buktinya aku tidak melapor ke pihak sekolah atas masalah ini."

Sicyl meneruskan, "Iya, lagi pula kamu sudah jujur karena mau memberitahu pihak sekolah."

Ketiganya pun saling berjabat tangan dan saling meminta maaf. Ibu Ani pun tidak bisa berkata apapun. Lalu, inilah keputusan Pak Bradi.

"Baiklah, Hilman. Bapak sudah akui kejujuranmu itu. Semoga ini menjadi pelajaran buat Danish dan Sicyl agar menjadi orang yang jujur seperti Hilman. Dan untuk Rusky, Arid, dan Friski. Kalian harus menanggung tanggung jawab dengan meminta maaf kepada Danish, Sicyl, dan Hilman. Dan juga, untuk hukuman kalian Bapak beri skors 2 hari agar kalian jera dan Bapak juga akan berikan surat izin kepada orang tua kalian agar kalian bisa belajar dari kesalahan itu. Kalian mengerti?"

Rusky, Arid, dan Friski hanya bisa mengangguk dan menjawab, "Baik, pak. Kami minta maaf."

Setelah selesai dari ruang kepala sekolah, bel istirahay pun berbunyi. Kami bertiga pun berjalan menuju kantin bersama.

Aku pun merangkul keduanya, Hilman dan Sicyl, seraya berkata,

"Mulai sekarang, kita akan selalu bersama dan bersahabat selamanya."

"Iya, benar. Terima kasih, Dan." jawab Hilman. Dan Sicyl pun tersenyum simpul sambil menelusuri lorong sekolah.
(ag)


Komentar