Golden Emptiness: Refleksi Keterasingan dan Pengendalian Diri

Maafkan aku, September. 

Saat aku mengucapkan selamat tinggal padamu, banyak hal yang ingin kubagikan begitu bermakna pelajaran hidup yang kuambil belakangan ini.


Maafkan aku yang terlalu sibuk untuk mencari validasi manusia, mengemis keberadaanku yang ingin sekali berada disekeliling atau disekitar kelompok-kelompok manusia. Namun, sekarang, izinkan aku untuk bercerita dan mengambil sebuah pelajaran penting untuk merangkum setiap hal yang telah kulewati.


Pertama-tama, menjadi orang yang terasing dan terpinggirkan itu berbeda.

Orang terasing itu adalah bagaimana ia menempatkan dirinya menjadi diri yang tidak terlalu banyak dikenali; baik setiap aspek personal, aspek ketertarikan, atau disebut sebagai aspek kesenangan atau pleasure yang diharapkan. Ketika seseorang sudah dalam keadaan terasing, artinya ia sudah bisa menempatkan dirinya tidak mudah dikenali atau tidak ingin keberadaan pribadinya dilekatkan oleh sesama. Apakah itu salah? Tidak. 

Seperti halnya ketika bekerja di suatu tempat; ketika bekerja, kita tidak perlu bersusah payah menunjukkan nilai pribadi, sikap personal, atau atensi yang berasal dari preferensi yang ada pada pandangan, asumsi, ataupun hal-hal humor, dan bahkan bisa dengan identitas kolektif, seperti hari ulang tahun, tahun anniversary bekerja, selebrasi lainnya. Artinya, menjadi terasing telah memilih diri untuk tidak melekatkan setiap keinginan pribadi pada siapapun, sekalipun tujuannya membangun hubungan kerja. 

Bagaimana dengan orang yang terpinggirkan?
Orang terpinggirkan adalah hasil dari sikap personal yang terlah ditumpahkan kepada sekelompok orang yang pada akhirnya tidak diterima karena di negasi oleh alasan personal juga. Seperti suatu kelompok yang dipengaruhi oleh satu individu yang memiliki pandangan yang cukup kritis terhadap personal seseorang yang sebenarnya jika diketahui hal itu tidak datang karena logika dan hanya bersifat perasaan yang memutuskan suatu kejadian itu berlaku, maka tidak seharusnya suatu problema itu diatasi dengan logika dan pada akhirnya orang yang telanjur memiliki ikatan secara personal akan runtuh dan kehilangan rasa percaya dirinya unutk tampl atau exhibit dengan sekelompok yang biasa ia singgahi. Keadaan orang terpinggirkan memang ia ciptakan sendiri karena ia tidak sanggup untuk berada di sekeliling kelompok itu dalam waktu yang cukup lama (membutuhkan waktu dan momen yang tepat serta kesempatan yang dijemput masing-masing diantara kami agar terhubung kembali.)

Sekarang, dari pelajaran ini aku belajar bahwa "it's okay if we're not friends anymore." Keputusan yang diambil seperti ini sebenarnya adalah langkah untuk tidak menjadi orang yang serakah. Orang yang serakah pada konteks ini adalah ia yang ingin menarik dirinya tertuju pada setiap orang agar keberadaannya begitu berarti dimatanya; bukan dimata orang lain yang mereka terima tentang kita. Ia ingin mencoba dan berusaha dengan susah payah agar orang lain dapat menjadi atensi baginya, sehingga itu akan berdampak pada kejenuhan psikis, kelelahan yang berasal dari ketidaklekatan orang lain terhadapnya. Jadi, meski aku belajar untuk tidak mengharapkan status "teman" lagi pada siapapun, setidaknya ini akan menjadi kemudahan diriku berpikir; bisa lebih fokus bagaimana mewujudkan sebuah inovasi ketimbang menuntut keribaan terhadap kemelekatan dengan orang lain.

Kedua, selain tidak ingin menjadi serakah, sesering mungkin tidak upload setiap kegiatan dengan media sosial.

Mungkin ini yang paling sulit, karena manusia selalu berharap akan keberadaan yang diakui meski hanya sebesar biji jagung. Tatkala kita mengharapkan sebiji itu, 1 sampai 4 orang saja yang menanggapi secara positif itu akan berkembang secara sporadis, bukan mengembangkan apa yang harus dikuasai melainkan mengembangkan pleasing terhadap seeking attention dari orang lain, sehingga bakat yang ada pada kualitas manusia itu perlahan akan layu dan mati.

Mengapa?

Karena manusia itu mengejar atensi. Itu masalahnya.

Sehingga cara terbaiknya adalah dengan menghapus sosial media sekeras mungkin tekadnya, bagaimanapun itu dapat mengendalikan sejenak kecenderungan untuk beratensi. Jika sudah bisa mengendalikan kebutuhan dirin sendiri, entah itu untuk menyalurkan bakat dan benar-benar berniat untuk for the sake of knowledge and sharing how you make it possible to be inspired,  gak masalah. namun dengan catatan, tidak berniat untuk menarik atensi secara personal pada siapapun. Bagaimanapun kita akan dianggap asing. Dan akan selamanya seperti itu, kecuali setiap individu berniat untuk menjalin kemelekatan.

Ketiga, carilah sumber inspirasi. Buku. Video dokumenter, Fakta atau berita. Segala sesuatu yang bersifat formatif terkadang dapat membantuku sejenak memikirkan apa yang penting harus ku cari tahu. Aku tidak akan lagi mencari tahu bagaimana keadaan orang yang telah mem-block aku dikantor yang dendamnya sudah tidak jelas arahnya, atau menanggapi bagaimana rekan kerja yang selalu mencari perhatian pada atasan demi mendapat afirmasi kata-kata indah. Dan itu semua adalah tidak lain bad inspiration karena sebenarnya aku sendiri adalah bagian dari niat buruk itu. Sebab, jika aku tidak menganggap itu buruk , aku tidak perlu pusing-pusing memikirkan setiap pandangan itu hanya karena ingin diperhatikan dan diperlakukan sama seperti orang lain. Dan satu hal yang terpenting...

...keempat, bahwa apa yang kamu pikirkan adalah cerminan dari alam bawah sadarmu. Ketika aku memikirkan orang yang tidak kusukai, seringkali alam bawah sadarku aktif dan tiba-tiba saja ia dapat menghubungkan segenap kompleks-kompleks (dari kejadian, pengalaman, memori, trauma, etc.) yang tersembunyi dan terlupakan, menjadi diingat dan melekat pada pikiran sehingga itu akan menjadi perilaku atau sikap secara motorik yang tak diduga-duga mengubah attitude dari yang biasanya.

Persis ketika aku yang biasanya dapat sanjungan dari rekan kantor yang biasa tersenyum dan selang 1 hari berlalu ia tidak mau tersenyum padaku entah darimana dan mengapa. Pikiran ku menjadi jahat; tatkala ia yang berubah dan aku pun jadi ikut berubah (karena terhubungnya sistem alam bawah sadarku yang menggambarkan bahwa orang yang cuek padaku pasti  ia memiliki masalah denganku namun ia tidak mau mengungkapkannya secara langsung dan ia cendering menjadi sikap yang defensif dan dingin untuk didekati). INI DIA PIKIRAN JAHATKU, ketika ia mengatakan itu, aku sejenak jadi ikut seperti apa yang ia lakukan. Menjadi dingin, un-follow dia, dan mulai membatasi dengan strict  seolah-olah sudah tidak lagi bukan orang yang saling mengenal. 

Nah, inilah cerminan yang tidak disadari. Aku menjadi pendendam seolah aku yang memulai duluan suatu peperangan itu. Padahal sebenarnya, aku berharap tidak ingin menjadi pendendam tapi pikiran alam bawah sadar secara otomatis memproyeksikannya untukku, sehingga aku akan menganggap "siapapun yang cuek denganku adalah orang jahat (orang yang sedang membenciku dari belakang)." 

Aku mulai belajar bahwa, pikiran itu memang berbahaya.
Sekali disulut oleh negativity ia akan berkembang secara sporadis. Karena itu, yang harus kulakukan dengan tahapan ini adalah "tetap tersenyum."

Iya betul, meskipun berat melakukannya. Tapi alangkah baiknya itu harus dilakukan. Karena, boleh jadi orang lain berpikir aku yang mulai duluan (kekejian itu) jadi tugasku adalah memastikan agar aku bisa menjadi orang yang lebih harmonis. Berusaha untuk menunjukkan bahwa pikiranku "siap kosong", artinya siap untuk tidak defensif atau berprasangka buruk dengan siapapun. 

Jadi,

Bisa diambil kesimpulannya:

Berikut adalah kesimpulan dari cerita dalam bentuk poin:


1. Perbedaan antara terasing dan terpinggirkan:

   - *Terasing*: Pilihan untuk menjaga jarak dari pengenalan sosial, tanpa perlu menampilkan aspek personal atau mendapatkan perhatian orang lain.

   - *Terpinggirkan*: Akibat dari penolakan sosial karena konflik personal yang membuat seseorang merasa tidak diterima dalam kelompok.


2. Keputusan untuk tidak mencari pengakuan sosial:

   - Tidak perlu berusaha keras menarik perhatian orang lain, terutama dalam lingkungan kerja atau sosial.

   - Melepaskan keinginan untuk dianggap berarti oleh orang lain demi menjaga keseimbangan psikis.


3. Pengendalian diri dari penggunaan media sosial:

   - Tidak sering mengunggah kegiatan pribadi di media sosial untuk menghindari ketergantungan pada atensi orang lain.

   - Fokus pada pengembangan diri, bukan mencari perhatian atau validasi sosial.


4. Mencari sumber inspirasi yang positif:

   - Fokus pada hal-hal formatif seperti buku, dokumenter, atau fakta yang dapat mengembangkan wawasan.

   - Hindari terpengaruh oleh "inspirasi buruk" yang berasal dari konflik personal atau masalah di lingkungan kerja.


5. Mengelola pikiran negatif:

   - Pikiran bawah sadar dapat memengaruhi sikap dan emosi negatif, seperti dendam atau prasangka buruk.

   - Menghadapi situasi sosial dengan sikap positif dan tidak mudah tersulut oleh emosi negatif.


6. Pentingnya menjaga sikap positif:

   - Meskipun sulit, tetap berusaha untuk tersenyum dan bersikap harmonis, bahkan dalam situasi yang tidak nyaman.

   - Menunjukkan kesiapan untuk tidak defensif dan berprasangka buruk agar hubungan sosial lebih sehat.


Terima kasih September, kuharap ini akan selalu menjadi Oktober yang berbuah manis.

Aku janji, tidak akan berharap terlalu lebih lagi.


October 7th 2024

Komentar

Postingan Populer