Dear October: Langkah Ikhlas di Lorong Karier
Kali ini, aku merasa cukup lelah menghadapi situasi yang semakin mencekam. Hak yang kumiliki seolah-olah dapat direnggut oleh orang-orang yang tidak bisa diajak bekerja secara profesional. Mentalitasku rasanya diinjak-injak, terutama oleh mereka yang memanfaatkan kesempatan dengan menggunakan alasan "urus hidup masing-masing" sebagai tameng agar tidak merasa terganggu oleh pekerjaan yang mereka anggap bukan tanggung jawab mereka.
Pengalaman ini benar-benar tak terlupakan. Banyak aspek yang membuatku memahami mengapa aku bisa diperlakukan demikian, dan ini jadi pelajaran besar bagiku.
Pelajaran Pertama
Aku harus sadar bahwa "tidak ada pertemanan sejati di dunia kerja." Seberapa pun akrabnya hubungan, pada akhirnya yang diutamakan adalah kepentingan finansial. Batasan untuk tidak terlibat dalam pekerjaan teman—meskipun se-divisi—menjadi hal yang lumrah karena mereka merasa "tidak dibayar" untuk itu. Dengan demikian, pertemanan seringkali tidak benar-benar ada dalam pekerjaan, karena orientasinya berbeda.
Pelajaran Kedua
Dalam berbagi beban kerja, tidak selalu rekan satu divisi mau mendukung atau bahkan menanggapi pekerjaanku. Meski diberikan waktu yang sama, torsi dan kapasitas yang berbeda membuat mereka cenderung memilih zona nyaman mereka sendiri. Maka dari itu, aku harus berhati-hati saat melimpahkan tanggung jawab, karena berbagi waktu dan tenaga tidak selalu disambut baik.
Pelajaran Ketiga
Di dalam divisi, sering kali informasi pribadi seperti gaji atau "performance review" bocor. Hal ini bisa menjadi sumber masalah ketika seseorang mulai meminta kenaikan gaji atau meminjam uang dengan alasan yang kurang sopan, seperti, "Semua orang nggak ada yang percaya sama gue, dan lu pasti akan merasakan posisi gue." Jika mereka bisa langsung berbicara dengan jelas dan menghargai batas waktu, aku pasti akan lebih mudah menerimanya. Namun, akhirnya, aku seringkali dianggap sebagai "orang baik" yang mudah dimanfaatkan dan diremehkan. Menjadi "baik" tak jarang dianggap sebagai kelemahan.
Semua ini cukup menjelaskan mengapa aku merasa sangat lelah dengan pekerjaanku. Bukan karena anak-anak yang kuajarkan, tetapi lebih kepada lingkungan yang tidak mendukung keharmonisan kerja.
Sikapku Selanjutnya
Aku teringat kata-kata Ustadz Nuzul Dzikri mengenai bahaya Riya'. Riya' adalah penyakit hati yang ingin dipuji atau takut dicela, dan cenderung bergantung pada sesama manusia. Mereka yang mencari pujian atau simpati dari orang lain seringkali menciptakan kemelekatan yang tak sejati, hanya untuk memperoleh pengakuan.
Keyakinan yang harus aku bangun adalah bahwa segala sesuatu terjadi atas izin Allah. Pujian atau celaan dari manusia sebenarnya tidak membawa dampak apa pun jika tidak Allah kehendaki. Maka, kita tidak boleh bergantung pada manusia untuk pengakuan atau kebaikan.
Selain itu, menghormati manusia tetap penting, namun kita tak perlu takut atau berharap balasan dari mereka. Hadits riwayat Tirmidzi menyebutkan, "Kenalilah Allah ketika lapang, maka Allah akan mengenalimu ketika susah." Takdir tak bisa dihindari, dan kesabaran selalu membawa kemenangan. Ketenangan dan jalan keluar selalu menyertai kesulitan.
Komentar
Posting Komentar