Infinite Life: Ujian Diluar Kesadaran
Pendahuluan
Dalam kehidupan, manusia tidak pernah lepas dari ujian. Ujian tidak selalu berbentuk musibah besar; sering kali ia hadir dalam bentuk interaksi sosial sehari-hari—di tengah keluarga, pertemanan, atau lingkungan kerja. Yang awalnya bertujuan baik, seperti berkumpul atau membantu, bisa berubah menjadi sumber konflik karena perbedaan persepsi, pengalaman masa lalu, atau kesalahpahaman.
Ujian seperti ini terkadang lebih berat dari ujian materi, karena menyentuh aspek harga diri, hubungan, dan emosi. Bahkan, menurut para ulama, ujian dalam bentuk lisan—membicarakan, menuduh, atau menilai orang lain tanpa kebenaran—termasuk ujian yang paling sering menjatuhkan manusia.
Mengapa Ujian Sosial Terjadi di Sekitar Kita?
1. Niat dan Ekspektasi Baik yang Berbenturan dengan Realita
Banyak interaksi bermula dari niat baik: mengunjungi kerabat, membantu teman, atau mempererat hubungan. Namun, ketika ekspektasi tidak sesuai kenyataan, muncul rasa kecewa dan salah paham.
Dalil:
"Padahal mereka tidak diperintah kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya..." (QS. Al-Bayyinah: 5)
Jika tujuan kita murni karena Allah, kekecewaan manusia tidak akan mudah mengguncang hati.
2. Perbedaan Perspektif dan Pengaruh Alam Bawah Sadar
Menurut Carl Jung, manusia membawa personal unconsciousness—memori bawah sadar yang membentuk cara berpikir dan merespons. Sebuah peristiwa bisa memicu rasa terancam, risih, atau iri, meski tidak ada ancaman nyata, hanya karena memori masa lalu tersentuh.
Misalnya, seseorang yang pernah dikhianati mungkin akan mudah curiga meski situasinya aman. Hal ini membuat penilaian menjadi bias dan kadang berlebihan sehingga seseorang tersebut merasakan ancaman, waspada, rasa tidak nyaman, risih, bahkan sampai pada sikap hasad, dengki, iri, dan bermunculanlah hasud demi hasud dari perkumpulan yang ada tersebut. Tidak mengherankan satu diantara setiap orang membicarakan perilaku kita dari setiap arah karena berusaha mencari kesamaan pengalaman, ide atau gagasan yang terlihat serupa, dengan mengabaikan kondisi seseorang sesungguhnya yang mereka bicarakan.
3. Kebiasaan Membicarakan Orang Lain (Ghibah)
Kebiasaan membicarakan kekurangan orang lain sering menjadi pemicu utama retaknya hubungan. Secara psikologis, ini adalah bentuk proyeksi—memindahkan rasa tidak nyaman dalam diri kepada orang lain.
Dalil:
"Janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati?..." (QS. Al-Hujurat: 12)
4. Kewaspadaan yang Salah Arah
Waspada itu baik. Namun, jika dilakukan dengan cara mengajak orang lain membentuk opini negatif tanpa fakta, ia berubah menjadi fitnah. Kewaspadaan harus diiringi klarifikasi dan adab.
Hadits:
Nabi ﷺ bersabda: "Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, tidak menzhaliminya dan tidak menyerahkannya (kepada musuh)." (HR. Bukhari & Muslim)
Lantas bagaimana kita bisa hadapi ini?
1. Periksa Niat
Tanyakan pada diri sendiri: apakah yang saya lakukan ini untuk Allah atau untuk memuaskan manusia? Memuaskan hati manusia adalah pekerjaan yang tak ada ujungnya dan sering berakhir penyesalan.
2. Memaklumi Perbedaan Pengalaman
Setiap orang punya latar belakang, cerita, dan luka masing-masing. Jangan terburu-buru menilai.
Hadits:
"Ja’far bin Muhammad rahimahullah berkata:“Apabila sampai kepadamu dari saudaramu sesuatu yang kamu ingkari, maka berilah tujuh puluh alasan untuk saudaramu. Jika kamu tidak menemukan satu pun, katakanlah: "Barangkali ia mempunyai uzur yang aku tidak ketahui.” [HR Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman no 8344]
Abdullah bin Muhammad bin Munazil berkata:
“Mukmin adalah yang selalu memberi uzur kepada saudaranya, sedangkan munafik adalah yang selalu mencari kesalahan saudaranya.” [HR Abu Abrirrahman As Sulami dalam Adab Ash Shuhbah]
Umar bin al Khathab berkata:
“Janganlah kamu berburuk sangka dari kata-kata yang tidak baik yang keluar dari mulut saudaramu, sementara kamu masih bisa menemukan makna lain yang baik.”
Hadits ini mengajarkan untuk mencari udzur (alasan) sebelum berprasangka buruk.
3. Waspada Tanpa Menjatuhkan
Waspada tidak berarti merendahkan. Menjaga harga diri orang lain adalah bagian dari menjaga kehormatan kita sendiri.
Dalil:
"Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam." (HR. Bukhari & Muslim)
Kesimpulan
Ujian sosial adalah keniscayaan. Menghadapi perbedaan dengan niat yang lurus, lisan yang terjaga, dan hati yang memaklumi akan menjaga kita dari konflik yang merusak silaturahmi. Dari sudut pandang Islam maupun psikologi, kunci utamanya adalah kesadaran diri (self-awareness) dan pengendalian hati.
Komentar
Posting Komentar