Cerpen #6: HU-HU Jan.
Malam pukul 18.30, di serbu oleh rintik hujan yang kala siang itu sedang teriknya. Bunga-bunga pun kembali bermandikan jutaan rintik air yang jatuh ke langit yang gelap itu. Lampu jalan masih menerangi tanpa adanya sambar petir yang kadang menjadi kepanikanku setiap hujan di waktu setelah maghrib. Derasnya memberikan suara-suara yang bergemericik, seraya ingin menghadirkan ketenangan yang menciptakan satu suara darinya saja. Hening. Dan menjadi kesempatan bagiku untuk tidur sejenak, namun aku harus tetap terjaga dan memastikan bahwa rintik hujan tidak masuk ke dalam rumahku. Ternyata, benar. Tepat lima belas menit setelahnya, satu per satu tetesan air yang muncul di atas langit rumahku pun bersahutan. Berirama, dengan tempo sesingkat-singkatnya. Tanpa pikir panjang, ku ambil semua perabot rumah tanggaku yang seadanya dapat menampung air hujan. Terdapat delapan titik bocor, bagiku itu adalah hal yang merepotkan ketika di mana ada hujan, di situ ada bocornya air hujan yang harus di tampung.
Dan hampir setiap titik bocor dari delapan titik memiliki irama yang berbeda. Ada yang bertempo sangat benar-benar lambat, cukup lambat, agak lambat, lumayan (tidak lambat, tidak cepat), agak cepat, cukup cepat, sangat cepat, dan sangat deras. Terasa menyebalkan, bila panci yang biasanya untuk merebus air tamu ternyata harus di pakai untuk menampung keluh kesah si air hujan di rumahku ini. Hingga akhirnya, sejenak ku rebahkan kepala sambil menikmati suara tetes-tetes air hujan tersebut.
"Tidak. Ini bukanlah diriku."
"Tentu saja tidak. Mungkinkah kau harus terus maju dengan impianmu?"
"Tidak. Sekali lagi tidak bisa. Aku telah menerima kenyataan pahit bahwa di dunia ini tidak ada satupun yang bisa ku percaya dan tidak ada pula yang menerimaku dengan harapan yang ku gantungkan..."
"Justru itu. Kau tidak bisa bergantung dengan semua orang di dunia ini. Mereka hanyalah 'penguji' untuk apa yang kau impikan, bersama mereka."
"Iya, benar. Tapi bagaimana caranya aku tidak bergantung dan saling mempercayai kepada mereka, sedangkan mereka yang selalu memberiku value di balik dari setiap pelajaran yang ku lewati dari orang-orang yang menyikapi sesuatu berdasarkan kemampuan orang lain secara pribadi, berbagai perspective yang mereka munculkan bagiku untuk melihat berbagai sudut pandang yang berbeda, lalu mereka memberikan thoughts tentang apa yang seharusnya ku lakukan di kala aku sendiri di ambang ketidakkonsistenan, mereka pula yang memberiku sensates yang bisa membuatku tersentuh di luar dari cara yang ku miliki. Ada juga di antara mereka yang mengarahkanku dengan technical yang konsisten, sehingga aku menjadi belajar kapan aku bisa menjadi orang yang logis, meski itu sangat sulit, lalu di antara mereka ada yang senang memberiku pelajaran dari sebuah memories yang mereka alami hingga mereka mengetahui tentang apa yang bisa di lakukan untuk diri sendiri, dan terakhir, ada yang memberikanku love, yang dimaksudkan agar aku bisa menjadi sosok yang cinta dan peduli terhadap diri sendiri. Namun...."
"Namun apa?"
"Aku hanyalah SEONGGOK IMAJINASI yang di mana semua orang menyambutku sebuah kesan pertama dengan satu kata yang menyakitkan. BULLSHIT!!! BULLSHIT!!!! Manusia di dunia manapun takkan mau percaya kepadaku, karena aku hanyalah TETESAN AIR HUJAN YANG SANGAT LAMBAT!! AKU HANYALAH JIWA YANG LEMAH, TIDAK BISA MEMBERIKAN DAMPAK APAPUN DI DUNIA INI, YANG TERNYATA AKU HANYALAH SEBUAH KHAYALAN OMONG KOSONG TAK BERWUJUD, TAK MEMILIKI NILAI, TAK MEMPUNYAI CINTA, TAK ADA MAKSUD YANG JELAS MENGAPA AKU ADA, SELALU TEROMBANG-AMBING DENGAN DUNIA, MUDAH DI TELAN DAN DI HEMPAS OLEH WAKTU. JIWAKU INI, TIDAK LAIN HANYALAH JIWA YANG NIHIL, TAK MEMILIKI ARTI. SEDIHNYA AKU INI... AKU TAK SANGGUP LAGI UNTUK BERDAMPINGAN LAGI DENGAN KENYATAAN APAPUN DI DUNIA INI!!!!!!!!"
"Lalu? Bagaimana perasaanmu setelah kau luapkan semua HAL BODOH yang kau bayangkan sendiri??
"Sudah. Cukup. Aku memang tidak tahu lagi harus bersikap apa. Aku tidak lain hanyalah tetes...."
"Baik. Itu saja. Bolehkah aku minta satu permintaan dari kau, wahai Imajinasi?"
"Apa itu?"
"Berkhayalah, sampai tiada satupun orang yang akan mengenalmu. Namun, yang bisa mengenalimu adalah dirimu sendiri, bersama dengan orang yang sangat memahamimu lebih dekat dari hembusan imajinasimu itu sendiri."
"Apa maksudmu?"
"Siapapun takkan pernah mau tahu dengan apa yang kau berikan untuk dunia ini. Karena kau adalah wujud tidak nyata. Namun, kau bisa berubah bentuk. Bisa menjadi apa yang kau inginkan. Bisa menjadi apa yang serupa dengan mereka, namun kau melakukannya dengan cara yang lebih baik dari mereka. Kau lebih mampu menembus batas kemampuan orang yang hanya sekadar untuk menjadikan diri mereka unggul. Orang yang merasa dirinya unggul pun, mereka juga asalnya menggunakan kau, sebuah imajinasi. Tujuannya agar mereka dapat menjadi diri mereka sendiri dan menjadi yang berbeda dari yang lain. Yah, meski pada kenyataannya kau akan perhatikan bahwa betapa bodohnya mereka menjadi budak bagi diri mereka sendiri, di mana mereka merasa lebih-lebih daripada kau. Intinya.... jangan membuat sesuatu untuk dirimu sendiri semakin buruk, tapi buatlah dan ciptakanlah sesuatu yang dapat menyudahi semua kegelisahan dan penyesalan yang tak bisa menjadi seperti mereka. Karena, kau adalah kau. Kau adalah sebuah Imajinasi. Maka, jangan berhenti mewarnai,sekalipun kau hanyalah gumpalan abu-abu yang tak berbentuk."
Wujud tampakku semakin gelap memudar, lalu seketika memunculkan cahaya merah merekah di dalam bola mataku yang tertutup kelopak dan bulu mataku. Tiba-tiba, ku dengar adzan.
"Nak, Bangun! Sudah masuk waktu 'Isya. Cepat benahi semua panci yang bocor ya. Badan kamu basah sekali, dah tahu ada bocor masa tidurnya dekat bak! Ayo, cepat bangun." tukas Ayah yang sudah siap dengan pakaian gamis putihnya.
Dengan tubuh yang lesu dan mata yang sedikit berair ini aku beranjak di atas sofa yang ternyata tak ku sadari bahwa jarak bak tampung air hujan yang tetesannya sangat deras sekali dekat sekali dengan tempat aku tidur dan membasahi sofa. Huhu, jan.
Dan hampir setiap titik bocor dari delapan titik memiliki irama yang berbeda. Ada yang bertempo sangat benar-benar lambat, cukup lambat, agak lambat, lumayan (tidak lambat, tidak cepat), agak cepat, cukup cepat, sangat cepat, dan sangat deras. Terasa menyebalkan, bila panci yang biasanya untuk merebus air tamu ternyata harus di pakai untuk menampung keluh kesah si air hujan di rumahku ini. Hingga akhirnya, sejenak ku rebahkan kepala sambil menikmati suara tetes-tetes air hujan tersebut.
"Tidak. Ini bukanlah diriku."
"Tentu saja tidak. Mungkinkah kau harus terus maju dengan impianmu?"
"Tidak. Sekali lagi tidak bisa. Aku telah menerima kenyataan pahit bahwa di dunia ini tidak ada satupun yang bisa ku percaya dan tidak ada pula yang menerimaku dengan harapan yang ku gantungkan..."
"Justru itu. Kau tidak bisa bergantung dengan semua orang di dunia ini. Mereka hanyalah 'penguji' untuk apa yang kau impikan, bersama mereka."
"Iya, benar. Tapi bagaimana caranya aku tidak bergantung dan saling mempercayai kepada mereka, sedangkan mereka yang selalu memberiku value di balik dari setiap pelajaran yang ku lewati dari orang-orang yang menyikapi sesuatu berdasarkan kemampuan orang lain secara pribadi, berbagai perspective yang mereka munculkan bagiku untuk melihat berbagai sudut pandang yang berbeda, lalu mereka memberikan thoughts tentang apa yang seharusnya ku lakukan di kala aku sendiri di ambang ketidakkonsistenan, mereka pula yang memberiku sensates yang bisa membuatku tersentuh di luar dari cara yang ku miliki. Ada juga di antara mereka yang mengarahkanku dengan technical yang konsisten, sehingga aku menjadi belajar kapan aku bisa menjadi orang yang logis, meski itu sangat sulit, lalu di antara mereka ada yang senang memberiku pelajaran dari sebuah memories yang mereka alami hingga mereka mengetahui tentang apa yang bisa di lakukan untuk diri sendiri, dan terakhir, ada yang memberikanku love, yang dimaksudkan agar aku bisa menjadi sosok yang cinta dan peduli terhadap diri sendiri. Namun...."
"Namun apa?"
"Aku hanyalah SEONGGOK IMAJINASI yang di mana semua orang menyambutku sebuah kesan pertama dengan satu kata yang menyakitkan. BULLSHIT!!! BULLSHIT!!!! Manusia di dunia manapun takkan mau percaya kepadaku, karena aku hanyalah TETESAN AIR HUJAN YANG SANGAT LAMBAT!! AKU HANYALAH JIWA YANG LEMAH, TIDAK BISA MEMBERIKAN DAMPAK APAPUN DI DUNIA INI, YANG TERNYATA AKU HANYALAH SEBUAH KHAYALAN OMONG KOSONG TAK BERWUJUD, TAK MEMILIKI NILAI, TAK MEMPUNYAI CINTA, TAK ADA MAKSUD YANG JELAS MENGAPA AKU ADA, SELALU TEROMBANG-AMBING DENGAN DUNIA, MUDAH DI TELAN DAN DI HEMPAS OLEH WAKTU. JIWAKU INI, TIDAK LAIN HANYALAH JIWA YANG NIHIL, TAK MEMILIKI ARTI. SEDIHNYA AKU INI... AKU TAK SANGGUP LAGI UNTUK BERDAMPINGAN LAGI DENGAN KENYATAAN APAPUN DI DUNIA INI!!!!!!!!"
"Lalu? Bagaimana perasaanmu setelah kau luapkan semua HAL BODOH yang kau bayangkan sendiri??
"Sudah. Cukup. Aku memang tidak tahu lagi harus bersikap apa. Aku tidak lain hanyalah tetes...."
"Baik. Itu saja. Bolehkah aku minta satu permintaan dari kau, wahai Imajinasi?"
"Apa itu?"
"Berkhayalah, sampai tiada satupun orang yang akan mengenalmu. Namun, yang bisa mengenalimu adalah dirimu sendiri, bersama dengan orang yang sangat memahamimu lebih dekat dari hembusan imajinasimu itu sendiri."
"Apa maksudmu?"
"Siapapun takkan pernah mau tahu dengan apa yang kau berikan untuk dunia ini. Karena kau adalah wujud tidak nyata. Namun, kau bisa berubah bentuk. Bisa menjadi apa yang kau inginkan. Bisa menjadi apa yang serupa dengan mereka, namun kau melakukannya dengan cara yang lebih baik dari mereka. Kau lebih mampu menembus batas kemampuan orang yang hanya sekadar untuk menjadikan diri mereka unggul. Orang yang merasa dirinya unggul pun, mereka juga asalnya menggunakan kau, sebuah imajinasi. Tujuannya agar mereka dapat menjadi diri mereka sendiri dan menjadi yang berbeda dari yang lain. Yah, meski pada kenyataannya kau akan perhatikan bahwa betapa bodohnya mereka menjadi budak bagi diri mereka sendiri, di mana mereka merasa lebih-lebih daripada kau. Intinya.... jangan membuat sesuatu untuk dirimu sendiri semakin buruk, tapi buatlah dan ciptakanlah sesuatu yang dapat menyudahi semua kegelisahan dan penyesalan yang tak bisa menjadi seperti mereka. Karena, kau adalah kau. Kau adalah sebuah Imajinasi. Maka, jangan berhenti mewarnai,sekalipun kau hanyalah gumpalan abu-abu yang tak berbentuk."
Wujud tampakku semakin gelap memudar, lalu seketika memunculkan cahaya merah merekah di dalam bola mataku yang tertutup kelopak dan bulu mataku. Tiba-tiba, ku dengar adzan.
"Nak, Bangun! Sudah masuk waktu 'Isya. Cepat benahi semua panci yang bocor ya. Badan kamu basah sekali, dah tahu ada bocor masa tidurnya dekat bak! Ayo, cepat bangun." tukas Ayah yang sudah siap dengan pakaian gamis putihnya.
Dengan tubuh yang lesu dan mata yang sedikit berair ini aku beranjak di atas sofa yang ternyata tak ku sadari bahwa jarak bak tampung air hujan yang tetesannya sangat deras sekali dekat sekali dengan tempat aku tidur dan membasahi sofa. Huhu, jan.
Depok, 18 April 2019
Gak bahas pilpres!
Filusuf sudah smackqueen bingung dengan negeri ini!
Komentar
Posting Komentar