Cerpen #10 - Bayangan

Seharian ku duduk di sebuah bangku taman. Menikmati secangkir susu rasa madu yang menggugah selera makanku yang sedikit mengganggu. Hingga di malam terik lampu menyisakan gemerlap sepi ibukota yang sedang pandemik. Hanya duduk, dan menikmati sepinya ruang dan waktu.
Sejenak bertemu dengan seorang wanita separuh baya. Mengenakan pakaian sekolah SMA, dimana ku perhatikan roknya semakin memudar. Tiba-tiba saja ia duduk di sebelahku.
“Belum pulang, dik?”
“Belum, eh, tidak.”
Aku terdiam. Lalu bertanya kembali.
“Sekolahkah hari—“
“Oh tidak, aku baru saja mau pulang.”
“Masih berpakaian?”
Wanita itu diam. Dan menggangguk malu.
Pembicaraan kita berhenti. Dedaunan tersapu oleh angin malam. Nampaknya akan hujan, aku pun bersiap untuk pergi.
“Baiklah, dik. Aku harus pergi. Terima—“
“Kegelapan itu, tidak semuanya dari bayangan kita sendiri, benarkah?”
Sontak terkejut aku mendengar pertanyaannya. Dan dari sorot matanya memerhatikan buku yang sedang ku gandrungi oleh lengan kiriku, yang berjudul “Psychological Type: Vol. VI The Collected Works by Carl Jung” tersebut.
“Kenal dengan Jung, ya?”
“Tidak terlalu, tapi aku tertarik mempelajarinya.’
“Tunggu,” seketika aku diam dan berhenti bergerak.
“Bayanganmu, sungguh kelam.”
“Apa?”
“Iya, masa lalumu. Pasti sangat kelam.”
Aku terdiam tanpa sedikitpun merespon yang ia ucapkan. Terasa kaku, dan merasa terpojok. Saat seseorang seolah-olah mengetahui apa yang ada di dalam diriku belakangan terakhir.
“Aku melihatmu sejak awal. Kamu memilih duduk di tempat yang bercahaya redup. Bayanganmu, terlihat sangat kuat. Apakah kamu takut dengan dirimu sendiri?”
Aku semakin terdiam. Dan mulai kembali mengambil posisi duduk.
“Apa yang kamu rasakan?”
Aku mulai menjawab dengan lirih, “Terkadang bayangan sendiri terlihat menyeramkan, ya?’
“Menurutmu?”
“Entahlah, aku seperti melihat dua orang berbeda dalam diriku.”
Ia terdiam, dan bertanya, “Lalu?”
“Ada sebuah syair yang memiliki arti seperti ini: cahayanya dia sangat bersinar jiika dilihat orang lain, tapi mereka tiada mengetahui cahaya itu membuat bayangan besar, makanannya adalah jiwanya sendiri. Bagaimana menurutmu?”
Ia jelas sekali mengutarakannya, “Dengar…,”
“Kamu dikalahkan bayanganmu karena nafsumu sendiri. Dorongan demi dorongan. Sehingga kamu sendiri yang menghalangi cahaya bersinar lebih terang. Dan bayanganmu, menjadi kebencianmu sendiri.”
Aku pun menyimaknya. Lalu ia meneruskan,
“…sekalipun kamu tahu bayangan itu menyeramkan, tetapi ia tahu segalanya tentangmu. Ia seperti sekretaris jiwamu, notulensi jiwa manusia. Kalau kamu mengusik pekerjaan mencatatnya, rusaklah jiwamu.”
Aku semakin terdiam dan menatapnya lebih dalam,
“…bayangan memang bernaung dalam kegelapan, tetapi bukan berarti kegelapan adalah bayangan. Terkadang, ia juga seperti jiwa manusia umumnya. Banyak khilaf, sering memendam dosa. Dosanya apakah kamu tahu?”
“Apa itu?”
“Menolak kebenaran tentang dirinya sendiri.”
Aku terdiam. Dengan tatapan kosong. Tertunduk pandangan mataku. Pikiranpun seperti lockdown. Diam, tak bekerja atapun bereaksi sama sekali.
Lalu, ia menepuk pundakku, dan berkata,
“Hei, pulanglah. Sudah larut malam, mas-mas muda. Hehe.” ujarnya sambil tertawa kecil.
Aku beranjak bangun, dan tiba-tiba memberiku sebuah kartu nama.
“Ini, jika kamu memerlukannya.”
Ternyata dia adalah Lisa, anak tetangga ibu Nia. Aku mengetahui ia dari nama lengkapnya saja. Cukup introvert, dan terlihat cuek.
“Peluklah bayanganmu dalam kegelapan, maka kamu akan menemukan cahaya yang membawa cinta dan kedamaian.”
Aku menggangguk saja, itupun sudah tidak kuasa berkata apapun.
“Sampai bertemu, mas Roy.”
Hah? Dari mana ia tahu namaku? Hmm… sangat aneh.



Filusuf Ngawur, Cucu Herakleitos.

Komentar