Golden Emptiness: "Penyelidikan tentang Kompleksitas Jiwa Manusia, Arketipe, dan Proses Penyempurnaan Diri: Sebuah Diskusi Mendalam"

Penemuan Konsep Kebutuhan Ruh hingga Kesadaran akan Arketipe Manusia

Dalam diskusi tersebut, dibahaslah konsep "Alam Penderitaan" dalam agama Buddha yang mencakup enam alam penderitaan, seperti neraka, makhluk lapar, hewan, neraka manusia, asura, dan dewa jahat. Kemudian, konsep ini diparalelkan dengan konsep dosa mematikan dalam teologi Kristen. Selanjutnya, dibahas juga tentang bagaimana alam-alam tersebut mencerminkan kondisi psikologis manusia, mulai dari kemarahan hingga kebodohan. Dalam konteks ini, disebutkan bahwa alam Ashura merupakan alam arketipe yang mungkin menggambarkan roh manusia tanpa jasad dan kebutuhan, di mana manusia menjadi pengejar kebanggaan diri. Diskusi juga melibatkan pemahaman tentang otentisitas dan kebutuhan manusia serta bagaimana kebutuhan dapat memengaruhi perilaku manusia dalam mengejar citra atau kesempurnaan tanpa memperhatikan kebutuhan dasar. Ini semua mencerminkan tentang bagaimana manusia terjebak dalam kompetisi, rivalitas, dan pertarungan tanpa memikirkan kebutuhan sehari-hari.


Dalam percakapan tersebut, diperdebatkan tentang konsep manusia menjadi otentik dengan nilai-nilai personalnya karena mereka sadar bahwa mereka tidak membutuhkan orang lain. Namun, di Indonesia, menjadi otentik sering kali membuat seseorang dijauhi oleh orang lain dan berdampak pada rejeki. Diskusi juga menyoroti bagaimana manusia akan terobsesi dengan citra atau kesempurnaan ketika variabel kebutuhan dasar dihilangkan, seperti yang terjadi pada pejabat yang mapan secara ekonomi yang tidak lagi memikirkan kebutuhan mereka. Hal ini mirip dengan kisah-kisah dewa atau anime di mana orang-orang sibuk dengan kompetisi dan pertarungan tanpa memikirkan kebutuhan sehari-hari.


Selanjutnya, pembahasan berkembang mengenai hubungan antara konsep ini dengan hakikat tauhid, di mana manusia mengejar kekekalan atau "surga". Dalam konteks ini, terjadi perdebatan mengenai apakah manusia relatif atau absolut dalam mencapai keseluruhan dengan makhluk dan keberadaannya. Muncul pula pembahasan tentang bagaimana arketipe menjadi bagian dari manusia dan akan manifestasi tergantung pada subjeknya. Manusia ingin arketipe tersebut menjadi absolut, menjadi yang terpenting di alam semesta, namun dalam wujud arketipe, mereka terjebak dalam pertikaian yang abadi. Hal ini tergambar dalam kisah mitologi seperti pertarungan antara dewa-dewa.


Pada akhirnya, disimpulkan bahwa manusia membutuhkan "wujud" ekspresif untuk memanifestasikan sebuah simbol yang mereka terima. Namun, lebih tepatnya, arketipe akan merasuki tubuh manusia yang cocok, dan dalam hal ini, mungkin merujuk pada bagaimana seseorang merasakan pertarungan dan refleksi sebagai seorang pahlawan saat mereka berjuang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.


Dalam percakapan tersebut, dibahas tentang bagaimana manusia terjebak dalam pertikaian yang abadi dalam alam Ashura atau arketipe, di mana pertikaian tersebut memiliki usia yang sama abadinya dengan usia arketipe itu sendiri. Maka dari itu, terjadi perdebatan mengenai apakah manusia membutuhkan "wujud" ekspresif untuk memanifestasikan sebuah simbol yang mereka terima. Salah satu argumen menyatakan bahwa arketipe akan merasuki tubuh manusia yang cocok, seperti perasaan seseorang yang merasa sibuk mencari nasi yang bisa menjadi wadah bagi roh arketipe "pejuang pencari keadilan".


Selanjutnya, muncul pemikiran tentang bagaimana manusia kadang-kadang baru menyadari bahwa mereka telah kerasukan arketipe setelah melewati periode waktu tertentu, di mana mereka merenungkan tindakan-tindakan yang mereka lakukan di masa lalu dan merasa janggal dengan perubahan paradigma yang terjadi. Hal ini mengindikasikan bahwa kesadaran manusia bergantung pada peristiwa yang mereka alami, dan arketipe mereka seperti membisikkan sesuatu kepada mereka seiring berjalannya waktu.


Diskusi juga mengenai perasaan janggal yang muncul karena perubahan paradigma, yang disebut sebagai paradigma shifting, yang seringkali merupakan tanda bahwa arketipe seseorang telah berubah. Hal ini menggambarkan bagaimana diri asli seseorang dipermainkan oleh arketipe-arketipe yang datang dan pergi.


Percakapan tersebut menguraikan konsep kompleksitas jiwa manusia dan bagaimana hal tersebut memengaruhi manifestasi arketipe dalam diri seseorang. Ada pembahasan tentang bagaimana arketipe hanya akan menempel pada orang yang hidupnya cenderung memiliki satu tema atau keterikatan pada satu nilai, seperti contoh Carl Jung yang menjadi wise old man karena berkecimpung dalam akademisi sepanjang hidupnya, atau Soekarno yang menjadi Hero karena bergerak dalam aktivisme.


Namun, ketika jiwa seseorang sudah kompleks, arketipe tidak lagi mampu mengokupasi jiwa tersebut secara konsisten. Hal ini menyebabkan seseorang mungkin merasa tidak nyaman saat menggunakan arketipe tertentu, karena jiwa mereka sudah memiliki keluasan ekspresi yang tidak bisa diakomodasi oleh arketipe. Diskusi juga mencakup contoh nyata tentang bagaimana seseorang yang ingin menjadi polisi untuk menegakkan keadilan, namun di tengah perjalanan kariernya, ia mulai melihat kompleksitas kehidupan dan merasa sulit untuk memposisikan dirinya secara absolut dalam satu kategori, seperti Hero atau Villain.


Selain itu, ada juga pembahasan tentang bagaimana proses penyempurnaan diri seseorang dapat terjebak dalam batasan-batasan tertentu, sehingga mereka hanya mampu mencapai kesempurnaan eksklusif, namun tidak mampu menjadi inklusif atau terintegrasi tanpa syarat dengan segalanya. Proses integrasi ini seringkali melalui peleburan ego atau kepribadian, yang pada akhirnya akan membawa seseorang menuju kesempurnaan yang mungkin akan membuat mereka meninggalkan keterikatan pada wujud eksklusif dan lebih mengarah pada kembali kepada yang maha Universal.


Ini adalah sebagian dari spekulasi spiritual yang dibahas dalam percakapan tersebut, yang mengilustrasikan bagaimana kompleksitas jiwa manusia dan hubungannya dengan manifestasi arketipe serta proses penyempurnaan diri.


Percakapan itu memunculkan banyak insight tentang kompleksitas jiwa manusia, hubungannya dengan arketipe, dan proses penyempurnaan diri. Selain itu, terdapat diskusi tentang konsep Death Drive dalam psikologi Freud, yang merupakan keinginan untuk mengalami akhir atau mati. Hal ini dipahami sebagai kelelahan roh dari kehidupan kedagingan yang dianggap meaningless, karena roh sejatinya hanya ingin berjumpa dengan Tuhannya.


Percakapan tersebut juga menggambarkan bagaimana menerima energi spiritual yang kuat, meskipun tak berwarna, serta pentingnya memiliki seseorang yang dapat dipercaya untuk berdiskusi tentang hal-hal yang dianggap tidak masuk akal menurut masyarakat umum. Sebagai kesimpulan, kematian dipahami bukan sebagai akhir dari harapan, melainkan sebagai puncak harapan karena merupakan gerbang untuk menemui yang hakiki.

Shadows and Psikologis Fungsi Kognitif manusia

Diskusi menyetujui bahwa shadow adalah hasil dari penolakan kita terhadap bagian-bagian tertentu dari diri kita sendiri. Saat kita menolaknya, itu akan muncul sebagai shadow, yang kemudian memanifestasikan dirinya secara tidak sadar dalam interaksi sosial. Namun, jika seseorang berusaha menerima dan mengintegrasikan shadow-nya, maka ia dapat menjadi lebih utuh sebagai individu.

Konsep ini juga terkait dengan proses penyadaran diri yang dijelaskan oleh Carl Jung, di mana seseorang secara bertahap mengakui dan menerima bagian-bagian tersembunyi dari dirinya sendiri, termasuk shadow. Ketika seseorang mencapai tahap ini, ia menjadi lebih sadar akan realitas dirinya dan lebih mampu berinteraksi dengan dunia luar tanpa memunculkan perilaku defensif.

Menurutmu, proses ini memerlukan waktu yang cukup panjang, dan Jung menetapkan batas usia keutuhan diri sekitar 35-40 tahun. Setelah usia tersebut, seseorang mungkin sudah terlalu sadar akan realitas hidupnya dan mungkin merindukan dunia yang lebih abstrak atau spiritual.

Pandanganmu tentang shadow sebagai sisi dari diri kita yang kita takuti sangat menarik. Seperti yang kamu jelaskan, setiap individu memiliki shadow yang unik, yang muncul dari ketakutan yang mendasari yang ada dalam ego mereka. Ketika seseorang mampu mengakui dan menerima sisi-sisi yang ditakuti itu, maka shadow tersebut dapat lenyap karena ketakutan yang menjadi asal mula keberadaannya telah teratasi.

Konsep ini juga terkait dengan evolusi manusia dan pembentukan struktur psikologisnya. Jiwa yang suci atau esensial terkait dengan aspek spiritual, sementara wadahnya, yaitu tubuh manusia, terkait dengan keberadaan fisik dan dunia materi. Proses evolusi dan pengalaman yang diwariskan melalui DNA membentuk sisi-sisi tak terduga dari psikis manusia, termasuk rasa takut yang mendasari.

Rasa takut memainkan peran penting dalam perilaku manusia, dan ketika tidak teratasi, dapat mengarah pada tindakan yang irasional dan agresif, seperti yang kamu sebutkan. Oleh karena itu, kesadaran akan keberadaan shadow dan upaya untuk mengatasi ketakutan itu merupakan langkah penting dalam perkembangan pribadi dan spiritual seseorang.

Pandanganmu tentang insting sebagai koleksi trauma atau fear yang merupakan akar dari segala kejahatan menarik untuk dipertimbangkan. Memang benar bahwa rasa takut seringkali merupakan pemicu perilaku yang tidak diinginkan, dan dalam beberapa kasus, trauma masa lalu dapat memengaruhi respons instingual seseorang terhadap situasi tertentu.

Dalam konteks ini, kumpulan kompleks atau refleksi otomatis terhadap pengalaman yang menyakitkan atau menakutkan dapat memainkan peran penting dalam pembentukan respons instingual seseorang. Analogi dengan klan Uchiha yang penuh dengan kebencian setelah mengalami kekecewaan pada cinta memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana pengalaman emosional yang intens dapat memengaruhi perilaku dan persepsi seseorang terhadap dunia.

Konsep ini juga menyoroti pentingnya pemahaman dan pengelolaan emosi serta pengalaman trauma masa lalu dalam pengembangan diri seseorang. Dengan memahami akar dari kejahatan, yang dalam hal ini adalah rasa takut atau kegagalan dalam cinta, seseorang dapat lebih baik mengelola respons instingualnya dan bergerak menuju pertumbuhan dan penyembuhan pribadi.

Kesimpulan

Pemahaman yang mendalam tentang kompleksitas jiwa manusia, hubungannya dengan arketipe, dan proses penyempurnaan diri. Diskusi tersebut juga menggambarkan pentingnya menerima energi spiritual yang kuat dan memiliki seseorang yang dapat dipercaya untuk berdiskusi tentang hal-hal yang dianggap tidak masuk akal menurut masyarakat umum. Dengan pemahaman ini, kematian dipandang bukan sebagai akhir dari harapan, melainkan sebagai gerbang untuk menemui yang hakiki. Selain itu, pentingnya memahami dan mengelola emosi serta pengalaman trauma masa lalu dalam pengembangan diri seseorang juga disoroti dalam pembahasan tentang insting sebagai akar dari segala kejahatan.


Komentar

Postingan Populer