Dear May: Ketika Semua Beban Dipundakkan ke Satu
Aku menulis ini bukan karena ingin mengeluh tanpa alasan. Tapi karena sudah terlalu banyak hal yang kutelan mentah-mentah demi profesionalitas yang tak pernah dihargai.
Bayangkan ini: kamu yang membuat materinya, kamu yang menyusun laporan, dan dalam satu hari kamu bisa mengerjakan 5 sampai 6 laporan tanpa ada bantuan dalam proses distribusinya. Semua beban dibebankan padamu, seolah-olah sistem kerja ini hanya berjalan karena kamu.
Ketika supply kantor habis, bukan dana operasional yang mereka cari. Yang jadi incaran justru uang pribadimu. Hanya karena mereka tahu kamu digaji 7 juta rupiah per bulan, mereka dengan gampangnya menggantungkan kebutuhan kantor ke kantongmu—dengan harapan kamu akan “mengerti” dan bisa “menalangi sementara”. Bullshit. Setelah itu? Dana bulanan yang seharusnya diberikan di awal bulan justru terus diulur tanpa alasan masuk akal. Mereka bergantung padamu tanpa rasa malu, seolah kamu adalah tumpuan terakhir mereka yang tak pernah boleh jatuh.
Yang lebih gila lagi, hampir semua operasional perusahaan—dari urusan siswa, laporan, distribusi barang, hingga pengajuan pembelian dan laporan pengeluaran—harus kamu yang handle. Bahkan kamu dituntut untuk menguasai materi hanya dalam waktu maksimal satu jam, meski kasusnya rumit. Lalu, apakah semua ini disebut efisiensi? Atau eksploitasi terselubung yang dibungkus dengan kata “komitmen kerja”?
Tunggu, belum selesai.
Lingkungan kerja di tempat ini adalah neraka sunyi. Tak ada kerja sama, tak ada inisiatif. Semua karyawan hanya bekerja berdasarkan job desc mereka masing-masing. Mereka individualistik, tidak peduli dengan sekitar, dan bahkan ketika dimintai bantuan, cenderung menghindar. Ketika terjadi masalah, mereka memanipulasi, melempar kesalahan, dan membalikkan tuduhan ke orang yang menyuarakan masalah. Dan sayangnya, itu aku.
Sikap mereka—yang lebih dingin dari AC kantor—membuatku merasa sangat terasing. Tak ada lagi rasa saling percaya. Tak bisa berteman, tak bisa kompromi. Kalau secara personal tak cocok, maka secara profesional pun mereka ogah jalan bareng. Dan parahnya, semuanya dibiarkan begitu saja. Tidak ada ruang untuk transparansi, tidak ada ruang untuk integritas. Just... fake smiles and fucking silence.
Jujur saja, ini bukan tempat kerja yang sehat. Ini ladang pembantaian mental—dengan sistem yang rusak dan manusia-manusia pengecut yang berlindung di balik mayoritas. I’m fucking tired. Tapi tak ada yang peduli.
Dan mungkin, memang sudah waktunya aku berhenti jadi 'tulang belakang' perusahaan yang tak pernah tahu rasanya punya punggung sendiri.
---
Komentar
Posting Komentar