Dear (last) April: Batasan dan Privasi - Ketika Privasi Tak Diajarkan di Rumah
Privasi bukanlah sesuatu yang muncul secara otomatis dalam diri seseorang. Ia adalah hasil pembelajaran, pembiasaan, dan keteladanan—dan tempat utama di mana proses ini terjadi adalah rumah. Sayangnya, tidak semua anak tumbuh dalam lingkungan yang mengajarkan pentingnya batasan dan ruang pribadi. Dampaknya, ketika seseorang tidak pernah diajarkan konsep privasi sejak kecil, ia tumbuh tanpa pemahaman tentang bagaimana mengenali, menghormati, dan menjaga ruang—baik ruang dirinya sendiri maupun orang lain.
Dalam banyak kasus, seseorang yang tumbuh tanpa batasan akan berusaha menciptakan “privasi” dengan caranya sendiri ketika berada di luar rumah. Ia bisa menjadi pribadi yang self-centred, bukan karena egoisme murni, melainkan karena kebutuhan psikologisnya akan ruang pribadi belum pernah terpenuhi secara sehat. Akibatnya, ruang sosial yang sebenarnya bersifat bersama atau publik, justru diubahnya menjadi arena di mana ia mencoba membangun “tembok tak terlihat” bagi dirinya sendiri. Ia mengekspresikan privasi dalam cara yang terkadang membuat orang lain tidak nyaman: menyendiri di tengah keramaian, marah ketika barang yang digunakan bersama disentuh orang lain, atau terlalu sensitif ketika merasa “dirinya terganggu”.
Di sini kita melihat fenomena menarik: privasi menjadi hal yang diperjuangkan karena tidak pernah diajarkan, bukan sesuatu yang hadir secara alamiah. Privasi bukan hanya soal “punya kamar sendiri” atau “menutup pintu saat butuh sendiri”—lebih dalam dari itu, privasi adalah tentang kesadaran bahwa setiap orang memiliki wilayah mental, emosional, dan fisik yang tidak bisa dilanggar sembarangan. Tanpa ini, seseorang bisa kehilangan arah dalam menjalin hubungan interpersonal, mudah merasa terancam, dan cenderung bertahan hidup dengan menciptakan batas-batas baru yang sebenarnya justru merusak harmoni sosial.
Masalah ini makin kompleks jika individu tersebut memasuki lingkungan kerja, pendidikan, atau komunitas yang menuntut kerja sama dan saling pengertian. Ketika konsep privasi dibangun secara sepihak, individu bisa terlihat arogan, tidak kooperatif, atau bahkan anti-sosial. Padahal, yang terjadi adalah ia mencoba memenuhi kebutuhan dasarnya yang dulu diabaikan: rasa aman akan ruang pribadinya.
Oleh karena itu, penting bagi orang tua, guru, dan lingkungan sosial untuk mengajarkan nilai-nilai batasan sejak dini—seperti meminta izin sebelum masuk kamar, menghargai pendapat berbeda, atau membiarkan anak punya ruang tenang tanpa gangguan. Privasi bukan berarti memisahkan diri, tetapi sebuah bentuk penghormatan terhadap keutuhan diri sendiri dan orang lain. Dan ketika seseorang merasa aman di ruangnya sendiri, ia akan lebih siap untuk terhubung dengan sehat kepada orang lain.
~
Komentar
Posting Komentar