Dear August: Dear Cinta

Cinta. Cinta. Dan Cinta.. Aku mulai merasakan kembali keinginan untuk mencintai seseorang. Seseorang yang menurutku 'ideal' sebagai pendamping hidup. Mungkin, dia adalah orang yang ingin kuhabiskan sisa hidupku bersamanya.

Sejak ia dikeluarkan dari kantor, sudah 7 bulan berlalu, dan kini aku bisa bertemu lagi dengannya. Dia tidak berubah. Senyumnya masih membekas dalam bayanganku sebagai wanita yang kucintai. Ia sangat sholehah, dan kacamata framenya masih setebal seperti ketika pertama kali dia membelinya sebelum Natal. Kami bertemu lagi dan berbagi cerita baru, dalam suasana yang berbeda, namun tetap mudah bagiku untuk berbicara tentang berbagai kejadian yang telah terjadi.

Setelah itu, kami berjalan-jalan di tempat yang sepertinya sudah lama ingin kami kunjungi bersama. Aku mengatakan bahwa sejak ia masih bekerja di kantorku, aku selalu ingin mengajaknya menonton bioskop privat—hanya kami berdua, duduk bersama menikmati film. Ia tertawa dan tersenyum manis, mengatakan bahwa aku hampir tidak punya waktu untuknya karena terlalu sibuk dengan lemburku. Dia sebenarnya ingin menonton, tapi akhirnya membatalkan niatnya. Aku berusaha memenuhi keinginannya, namun sayangnya, film Detective Conan yang ingin kami tonton sudah tidak tayang, sehingga kami membatalkan rencana itu.

Saat aku berfoto di parkiran karena muridku menelepon via video call, aku merasakan hangatnya ia bersentuhan denganku, meskipun hanya bahunya. Aku ingin sekali berada di sampingnya. Entah mengapa, hatiku tak ingin berpisah lagi dengan figur ideal yang kuinginkan.

Secara spontan, aku mendengar ia berkata TIDAK saat aku menyinggung kemungkinan bertemu dengan kedua orang tuanya. Dari ceritanya, aku menyadari bahwa kami memiliki kesamaan. Bedanya, ia tampaknya tidak memiliki sosok ayah yang bisa selalu ada untuknya, menjadi tempat bercerita atau mendekat. Ibunya adalah pekerja keras, meski penampilannya sederhana, dan dia hanya dibesarkan oleh neneknya, mengingat kakeknya telah tiada. Menurut analisis psikologiku, ia mungkin mengalami kesulitan untuk berhubungan dengan figur pria karena ia hampir tidak menemukan contoh pria 'ideal' dari proses pembelajaran hidupnya bersama orang tuanya (yang mungkin sudah bercerai).

Mendengar penolakannya membuatku terkejut. Entah mengapa, aku merasa ia belum siap untuk serius dengan pria mana pun karena faktor tersebut. Namun, jika aku harus menunggu ratusan bahkan ribuan tahun untuknya, aku akan tetap sabar, asalkan ia mau terbuka dengan perasaannya. Aku sangat mencintainya. Dalam diam, meskipun dengan sikap yang penuh tanda tanya yang kutinggalkan. Mengapa? Karena cinta bukanlah sesuatu yang mudah diungkapkan dengan kata-kata. Membutuhkan pengertian dalam diri sendiri agar aku bisa belajar menerima dan memahami lebih dalam setiap aspek dirinya. Aku hanya berharap, bulan depan, aku bisa mengajaknya makan bersama, menikmati waktu berdua sambil memandang senyum yang akan selalu kuingat, lebih dari sekadar tontonan yang sering kulihat di tengah malam.

Dear Cinta, Aku harap dengan memandangmu, aku bisa tidur lebih nyenyak. Semoga bayangan wajahmu bisa menemani pikiranku, menggantikan kesedihan dan kesendirian yang mungkin kamu rasakan.

Aku berharap kamu bisa menerima cintaku.

Komentar

Postingan Populer