Golden Emptiness: Refleksi Diri - Memahami Perilaku, Sifat dan Kepribadian untuk Hidup yang Lebih Bijkasana

 Berikut adalah penyuntingan dari setiap poin pelajaran hidup yang dialami penulis dengan rinci dan koheren:


1. Perilaku (Behavior) Tidak Sama dengan Kepribadian (Personality)

   Kebanyakan orang sering menganggap bahwa perilaku yang tampak dari seseorang adalah cerminan langsung dari kepribadian mereka. Namun, ini adalah pemahaman yang keliru. Perilaku seseorang bisa jadi dipengaruhi oleh situasi atau keadaan tertentu dan bukan merupakan gambaran pasti dari kepribadiannya. Menganggap perilaku sebagai kepribadian dapat menyebabkan prasangka atau penilaian yang tidak tepat terhadap orang lain.


2. Sifat Dapat Diubah Melalui Pembiasaan  

   Sifat seseorang dapat berubah seiring dengan pembiasaan dan latihan yang terus-menerus. Fokus untuk menciptakan diri yang berguna bagi sekitar perlu dilakukan secara berulang-ulang hingga sifat tersebut menjadi perilaku yang otomatis. Ketika perilaku ini diterima oleh masyarakat, ia akan diterima di berbagai area kehidupan. Namun, jika tidak diterima, perilaku itu harus segera diubah, dan sifat akan mengikuti perubahan perilaku tersebut.


3. Kepribadian Tidak Dapat Diubah  

   Kepribadian seseorang memiliki mekanisme tersendiri yang sulit untuk diubah. Kepribadian mencakup proyeksi dari keinginan (desire) dan rasa takut (fear) yang berbeda-beda untuk setiap individu. Meski demikian, terdapat pola-pola umum dalam kepribadian manusia yang bisa diamati secara empiris, seperti fungsi dari thinking-feeling, sensing-intuition, serta bagaimana mengatur kebutuhan akan insting. Kepribadian adalah sesuatu yang terhubung dengan leluhur kita dan cenderung tetap.


4. Mengatasi Amarah  

   Salah satu masalah terbesar yang dihadapi manusia, termasuk diri saya, adalah amarah. Saya menyadari bahwa marah kepada orang yang tidak dikenal hanya akan menciptakan kehancuran, keputusasaan, kegelisahan, ketakutan, dan kecemasan bagi kedua belah pihak. Untuk menciptakan kedamaian, perlu mengurangi setiap ucapan dan perbuatan yang memuat emosional berlebihan. Dengan mengurangi tendensi ini, saya akan lebih bijaksana dalam mengambil keputusan dan dapat berpikir dengan matang tanpa bergantung pada reaksi atau validasi orang lain.


5. Pelajaran dari Malas Pikir  

   Terkadang, orang menolak perubahan atau hal yang rumit karena mereka malas berpikir. Mindset adalah hasil representasi alam bawah sadar, dan bagaimana orang lain memandang kita bisa dipengaruhi oleh mindset mereka yang sudah terbentuk. Manusia yang menyembunyikan rasa perhatian terhadap sesamanya adalah hal yang normal karena itu kerja alam bawah sadar kita. Untuk mengenali satu sama lain, kita perlu menyadari dan mengumpulkan hal-hal yang kita hindari atau takutkan. Dengan mengendalikan dan menerima setiap perubahan serta menciptakan sikap yang lebih dapat diterima oleh diri sendiri dan orang lain, kita akan mengurangi friksi dan menerima evaluasi dari orang lain sebagai refleksi bagi mereka sendiri.


6. *Menghitung Kebaikan Lebih Sulit Daripada Keburukan*  

   Manusia cenderung lebih sulit menghitung kebaikan orang lain daripada keburukannya. Keburukan orang lain dapat menjadi batas hidup kita untuk menjaga kesadaran dan kewaspadaan terhadap setiap masalah. Rasa benci pada suatu perkara tertentu sering kali membuat kita mengabaikan kebaikan seseorang, menganggap semua aspek buruk menjadi satu kesatuan dari diri orang tersebut. Padahal, manusia sendiri yang menentukan apa yang dia pandang sebagai baik atau buruk. Oleh karena itu, manusia harus menjalani setiap perjalanan hidup dengan menikmati setiap momen tanpa menggantungkan harapan terlalu tinggi pada keadaan atau orang lain.


7. Overthinking Lebih Kejam Daripada Pembunuhan (bonus)

    Aku sadar, bahwa menjadi manusia selalu banyak sekali kekurangan. Salah satu kekurangannya adalah berpikir terlalu jauh diluar dari batas dirinya sendiri yang seharusnya tidak perlu dipikirkan. Dengan pekerjaan sebagai overthinker, aku menadi sosok yang paling menyebalkan; hingga saat ini. Orang-orang menjauhiku, membenciku karena mereka menjadi tidak menentu dalam urusan berhubungan secara akrab karena dikhawatirkan diriku yang selalu dianggap berpikir yang "tidak-tidak" pada orang lain. Mungkin, memang itulah kenyataannya. Dan, pada akhirnya hanya bisa berakhir pada kata-kata yang tidak terangkai dengan jelas motif serta alasan aku harus overthinking. Sehingga, aku mau tidak mau harus menjalani seolah tidak terjadi apa-apa, teteap berada dalam keadaan kosong (sebagaimana judulnya Golden Emptiness), semakin kosong semakin mudah untuk menampung hal-hal yang harus kutampung tanpa mengisi sendiri apa yang seharusnya tidak perlu terjadi untuk dipikirkan. 


epilog: harus membaca pemahaman Stoic.

Sudah banyak orang memberi saran ini, yang entah mengapa aku belum berani melakukannya bahkan memulainya. Mungkin memang akan ada waktunya, karena uangku udah habis untuk berbelanja sana sini.. So?? Let's keep going. 


Komentar

Postingan Populer