Psychoanalysis Journal #1 - Permukaan, dan Ego

Hai. 

Kalau ditanya gw itu seberapa paham mengenali fenomena manusia dan sekitarnya, boleh merasa dibilang khatam atau masih perlu melanjutkan proses belajar terus menerus supaya ada yang bisa dihasilkan lebih produktif. Sumber bacaan gw adalah Jung's Map of The Soul dari Murray Stein, buku teorinya Teori-teori Kepribadian Psikoanalitik Kontemporer Jilid I oleh Yustinus Semium, OFM, trus juga nanti ada beberapa tambahan seperti Orang Sulit: Fakta atau Persepsi yang ditulis Tjipto Susana. 

Sepanjang tahun ini, gw menemukan sebuah teori yang katanya bahwa "manusia itu adalah makhluk yang memiliki kedekatan dengan keyakinan", atau singkatnya "manusia itu makhluk yang berkeyakinan." Gw dapet itu dari pemikiran Carl Gustav Jung, seorang penerus psikoanalisis koleganya, Sigmund Freud. Carl Jung memandang bahwa aspek manusia itu dilihat dari kejiwaan yang berlipat-lipat, dimana adanya kesadaran (conscious) dan dua ketidaksadaran, yakni ketidaksadaran pribadi (personal unconscious) dan ketidaksadaran kolektif (collective unconscious). Tingkah laku manusia, kek kita gini, dipengaruhi dari sebuah sejarah individu dan ras (kausalitas) dan tujuan-tujuan makna yang beraspirasi (teleologi) (Semium). Jadi itulah yang menguatkan pandangan Jung bahwa pengaruh massa di lini masa ini dapat memengaruhi berkembangnya perilaku seseorang, baik datang dari leluhur, agama, maupun sosial berskala masif.

Untuk memperlebar pembahasan ini, Jung mengemukakannya bahwa kesadaran itu adalah keadaan terjaga, yang berasal dari bahasa Latin yang bermakna "aku" lalu mulai disebut sebagai "Ego". Kesadaran adalah sesuatu yang menjadi fitur psikis kompleks, dimana tidak secara sempit kesadaran itu hanya Ego semata, tetapi Ego bergerak untuk mengendalikan kesadaran, mengamati, memilih, mengarahkan apa yang kita maunya ngapain (Stein). Misalnya, lu mau makan, lu sadar dalam memilih makanan itu karena "apa"nya. "Oh, gw seneng keju karena kalo digigit lembut banget", atau "gw lebih senang makan coklat karena senang aja sih, selain rasanya manis", dan semacemnya. Kalau lu biasanya ngendarain motor atau mobil, nah, lu pasti bakal merhatiin apa kek yang ada disekitar lu, entah lu was-was ada orang labrak lu, atau lu kebayang bakal mau nyampe lewat jalan mana yang mao ditempuh, atau lu membayangkan orang lain yang jadi pengalihan lu saat di jalan (kek ngeliatin apa yang tergambar dari memori, imajinasi,de es be), semua itu adalah KESADARAN, dan Ego lau adalah fungsinya, dan fungsi tersebut bisa berkembang seiring waktu.

Ego kalo kata Jung ada tiga bagian yang ketika lu lagi nggak 'ngeh' sama kesadaran lu, 1. ada yang lagi coba memunculkan memori atau ingatan tertentu yang bisa narik perhatian lu, 2. ada pula di bagian yang menjadi 'agen penyimpan' memori yang bakal mau dimunculin "kek masih ada yang ditahan tapi lu mulai ga sadar itu isinya apaan yak?",dan 3. ada pula bagian yang bakal gak lu sadari sama sekali apa yang lu inget atau bayangin "kek masih lola gitu ini mau salurin apaan" gitu. Jadi ketika lu mau sadar itu perjuangannya berat banget, karena  sisi saluran Ego lu itu, yang pas mau ke jalur kesadaran, masih perlu dijangkau atau dipancing biar terangsang/keluar ehehe, sehingga yang ada di dalam ketidaksadaran pribadi lu itu bakal ngasih informasi, karena itulah Ego seringkali harus dipaksain biar terbiasa dan lu bakal artikan maknanya sendiri lewat ketidaksadaran kolektif :)

Bagian dua ego lu itu sifatnya "spontan konten subliminal" artinya, konten yang bikin kaget dan memiliki pesan tersembunyi, artinya lu kalo ngelakuin sesuatu pasti lu sadar sendiri maksud tujuan yang lu lakukan, jadi bagian ini orang gamungkin tau niatan lu mau ngapain *haha jahatnya ego waduwadu. Trus bagian ketiganya, lu bakal bikin anggapan pribadi "kek semacam ngedumelnya lu itu kek gimana sih?" yang biasanya hal-hal yang mau dibuktikan sama diri sendiri, isinya simpulan logis berdasarkan fakta yang terjadi dari bagian dua ego lu itu. Trus bagian satu buat apa? buat action dong, man. Mangkanya ia disebut sebagai "konten subliminal yang sifatnya temporer" artinya gak selamanya lu ngelakuin hal yang polanya presisi "sama" terus, pasti ada bedanya, meskipun dipraktekkinnya berulang-ulang. Nanti yang bikin polanya beda, dari sebab bagian 2 dan 3 :).

Next, Ego menurut Jung dalam bukunya berjudul Aion ada dua fokus; buat badan (somatis) dan buat psikis (psikhe) (Stein). Kalo misalnya buat badan, kita sering banget nih yang namanya nonton film. Pasti kita bakal menerima rasanya nonton dulu (lewat mata sama kuping, gamungkin lewat ketek) trus Ego kita kepancing untuk mengidentifikasi "ini apaan dah", kita baru memunculkan emosi itu abis semisalnya ngeliat orang "unch unch" gitu di pelem. Kalau lu misalkan susah mencerna gambar dari sebuah film atau lu natapin kok bisa ya filmnya bagus, lu bereaksi nangis, ketawa, kesel, envy, de es be, yang memancing dunia realitas lu biasanya, berarti lu udah bisa tergugah secara somatis. Tubuh kita di mobilisasi, di setir maksudnya, jadi bisa ngerasain sesuatu, yang akhirnya kalo udah terus-terusan menerima informasi dari tangkapan rasa itu, bisa ngebentuk citra diri kita sehari-hari, jadi nggak heran kenapa ada orang yang tipe kepribadian yang sama tapi reaksinya beda-beda "ohh berarti situ aja keliatan nih orang perilakunya mengambil cerminan dari apa tontonannya" :D. Nah, Ego kalo sudah teraktivasi (alias sudah nerima fenomena tersebut) pasti baka mengakar dan membentuk rencana diri yang sesungguhnya, kayak bikin pengharapan, keinginan, tujuan, peluang, perasaan, pikiran, pengamatan, dsb.Ego itu akan menggenggam sebuah emosi, hasrat, atau cerminan identifikasi untuk diri sendiri, nanti bakal menjadi alat atau fungsi diri kita untuk bertindak.

Nah, Ego itu sebenarnya juga punya batasan, mamen. Ia hanya bisa merespon stimulus (dari yang dia liat, rasa, kecap, de es be), nanti bakal kepake buat melindungi diri, nunjukkin diri, dan akan bertingkat tujuannya untuk berkreasi, mencintai, atau balas dendam (Stein). Nah mangkanya kalo orang misalkan punya dendam atau kebencian, sebenarnya orang lagi di posisi itu pasti bakal "malu sendiri", karena dia terjebak dalam hasratnya sendiri yang sebenarnya orang lain belum tentu demikian terhadapnya. Jadi, itulah Ego itu, adalah cerminan diri sendiri. Lu ya lu, gw ya gw. Dengan adanya Ego, lu jadi tau keberadaan lu, dan lu itu seperti apa. 

Trus sama binatang apa bedanya? Yah kalo binatang itu gapunya Ego karena mereka kalo disuruh ngaca gabakal "aduh gw kurang skinkeran ga yak?","gw kira2 cantik gak yak?", "kalo gw mangsa si Zebra kira2 dia marah ga ya?", naah itulah Ego, dan bersyukur kalau kita masih punya Ego, karena kalo lu ngerasa mau "matiin ego" gabakal bisa, karena itu adalah alat kesadaran lu. It's a function, and it needs to growth. Itulah kenapa pada hewan, Ego itu tidak akan ngerasain "kapan mati", karena menurut Rilke, hewan-hewan tidak menghadapi kematian sebagaimana manusia mengkhawatirkannya karena mereka merasa dapat hidup terus menerus hingga sekarang (Stein). Terlebih lagi, hewan tidak memiliki kesadaran diri yang sama seperti manusia dan tidak pula berbahasa, kalo kata dosen gw yang bernama Hilmi Akmal, karena bahasa tercipta karena kesepakatan kultur secara linguistik. Trus, kalo hewan bisa memiliki Ego untuk mengomunikasikan pikirannya, emang ada hewan punya kultur yang bisa bersepakat kek gini, "eh kita pake bahasa Ge aja yuk, biar pada nyambung jeung ora ngarti, teu?"

Trus lagi, Ego itu unik gais. Ia bisa membuat entitas yang berkehendak, individual, unik, dan terbatas (Stein). Lu punya dorongan untuk makan, tidur, sholat, belajar, WA-an, baca buku, main papji atau frifayer, atau melorotin celana pak eRTe, itu kehendak lau. Kalau udah berkehendak, pasti lu nentuin mau jadi kayak apa gw dipandang diri sendiri sama orang, nah jadi tuh lu sebagai "orang" yang unik dan berbeda dari yang lain. Kalau pas lu memilih jadi yang berbeda, pasti lu bakal melihat aspek-aspek yang muncul di luar atau aktivtas lu sehari-hari. Misalnya ngeliat temen yang lebih malas belajar, yah lu pasti bakal miqir "gw gaboleh kaya tuh orang" atau "gw bisa gak ya lebih dari yang dia lakukan?" baru lah di situ ketika lu tentukan keunikan atau individualitas lu, lu bakal gak nyadar kalo lu itu "terbatas" bagi siapapun. Artinya, lu mampu ngelakuin dari perjanjian diri lu sendiri, yang mungkin tidak melampaui batas, kecuali atas izin Allah dan diri lu ridho mau melakukan sesuatu yang "baru". 

Nanti Ego pun juga bakal kenal yang namanya benturan, konflik, masalah, kesulitan, kesedihan, penderitaan, yah karena lu berkehendak ngelakuin sesuatu, lalu lu tentuin kayak gimana macem lu, dan itulah batas lu yang lu dapetin, nantinya pas tubrukan sama orang punya uniqueness yang berbeda dari lu, yah lu akan berbenturan (Stein). Wajar dong gais, biar lu nanti bakal ngerasain setiap gesekan itu menghasilkan nilai baru dalam diri lu, karena logikanya "gimana caranya logam bisa ngegesek dirinya sendiri, kalo ga ada yang gesekin dari sesamanya atau lawannya?" Frustrasi dan konflik dari lingkungan dengan taraf tertentu, bagi Jung, dapat melatih Ego itu tumbuh. 

Ego selain dilatih untuk mendapatkan afirmasi juga dilatih buat menerima ketidakpuasan atau kontras (Stein). Kaya misalkan, mana ada bayi baru lahir dia "diem, ketawa, atau santuy?" Pasti menangis! Sebab kelahiran bayi itu merupakan penderitaan pertama karen udah gabisa lagi dapet kenyamanan dari mummy tummy :'). Jadi, ketika anak udah beranjak gede, yah katakan udah 2 tahun, ia gak cuma menyesuaikan apa yang ada di luar, tetapi juga berusaha ngutarain dia itu mau atau nggaknya sama sesuatu. jadi mangkanya kudu diajarin "iya" dan "tidak" biar nanti ntu anak bisa melatih dan nguatin Ego nya agar dapat menentukan entitas pusat kehendak, tujuan, dan kendalinya. 

Intinya, kalo mau bikin Ego itu berkembang, harus berupaya untuk menjalankan kehendaknya, lalu ia akan menjumpai resistansi (penolakan) dari luar, dan nanti kalo udah berbenturan artinya dia punya kesempatan untuk belajar, yah selama gak berlebihan outcome-nya maka peran orang tua wajib mengendalikan apa yang pas porsi sianak nerima hal yang ada di luar. Just remember, Ego is not a trait, bukan sifat permanen, bawaan tempramen, atau perangai manis-manis kek permen, tapi dia adalah ladang untuk numbuhin kedewasaan lu. Kalo diilangin, siap-siap menjadi kawan di hutan :)

Sumber

Semium, Yustinus. Teori-teori Kepribadian Psikoanalitik Kontemporer Jilid 1. 5th ed., Kanisius, 2013.

Stein, Murray. Jung’s Maps of the Soul. 12th ed., Open Court, 2010.

Komentar