Dear March: No Laughs, No Surprises
[Bahasa]
Sejenak aku berhenti untuk merenung dan mengingat—berapa kali aku tertawa dalam sehari? Saat kuhitung, aku menyadari bahwa aku tidak selalu menertawakan segala hal sepanjang hari. Rasanya seperti aku "memilih" momen-momen tertentu ketika situasinya terasa tepat. Misalnya, sekitar pukul 16.30, aku tertawa saat menyanyikan lagu Susis (Suami Takut Istri) untuk Jack dan merekamnya empat kali menggunakan fitur "lihat sekali" untuk dikirim ke temanku di kantor. Kemudian, saat pulang ke rumah, aku berbincang dengan istriku tentang banyak hal dan kembali tertawa ketika membahas perjalanan ibuku yang akan berangkat umroh bersama keluargaku. Itu pun hanya sekitar 3-4 kali, karena beberapa leluconku sering kurang diterima dengan baik di depan ibuku.
Lalu, setelah menyisihkan waktu sejenak dari istriku dan ibuku, aku kembali tertawa lepas saat bercanda dengan adikku—sekitar delapan kali, dengan suara yang jauh lebih keras dibanding sebelumnya. Momen terakhir adalah ketika istri saya dan saya sedang dalam perjalanan ke suatu tempat. Kami melakukan sesuatu yang ‘konyol’ di tengah jalan yang remang-remang dan minim penerangan. Tiba-tiba, seorang pengendara motor mendekati kami, seolah ingin melihat apa yang kami lakukan saat berkendara. Sesaat, kami terdiam tanpa melakukan apa pun. Kemudian, saat melewatinya, kami tertawa terbahak-bahak sekitar 6-7 kali.
Jadi, secara total, aku tertawa sekitar 23 kali, yang sudah melampaui rata-rata orang dewasa pada umumnya.
Pertanyaannya:
Apakah aku harus menjadi lebih "dewasa" berdasarkan standar yang sudah ditentukan, membentuk perilaku sesuai dengan ekspektasi orang lain? Mungkin tidak. Atau mungkin aku akan memaksakan diri untuk memenuhi ekspektasi tersebut.
Apakah itu akan terasa menyakitkan? Mungkin, mungkin juga tidak.
Dulu, aku bisa tertawa hampir 30-40 kali dalam sehari. Saat remaja, aku hanya tertawa sekitar 8-10 kali sehari, tetapi lebih keras dan meledak-ledak. Sedangkan ketika masih kecil, sekitar usia 8-18 tahun, aku bisa tertawa lebih dari 40 kali dalam sehari—biasanya karena bereaksi secara spontan dalam interaksi dengan orang lain. Namun, di masa itu pula aku mulai menyadari bahwa tawaanku terkadang menyinggung perasaan orang lain.
Saat itulah aku mulai mengenal batasan dalam tertawa.
Pertama, aku berhenti menertawakan hal-hal yang "menyakitkan" atau mengejek kekurangan seseorang. Aku mulai berpikir, Bagaimana jika aku berada di posisi mereka?—hal ini membantu mengurangi kecenderunganku untuk menyinggung perasaan orang lain.
Kedua, aku menghindari tertawa terhadap hal-hal yang berkaitan dengan agama, terutama jika dijadikan bahan lelucon atau prank. Misalnya, aku tidak akan tertawa melihat praktik ibadah yang sengaja diselewengkan—kecuali jika itu memang benar-benar tidak sesuai dengan ajaran yang seharusnya.
Ketiga, aku berhenti menertawakan lelucon yang mengharuskanku berpikir lebih dalam. Setiap hari aku sudah terbiasa berpikir untuk menyelesaikan berbagai hal secara efektif. Jika ada lelucon yang membutuhkan waktu untuk kupahami, sering kali aku justru bingung dan akhirnya tidak tertawa sama sekali.
Keempat, yang tidak kalah penting, aku berusaha untuk tidak tertawa saat mengajar murid-muridku. Aku ingin menjadi sosok yang serius, jelas, tegas, dan terarah dalam menyampaikan materi. Meski hal ini masih sulit, karena anak-anak memiliki mood, tingkat usia, dan selera humor yang berbeda. Kadang, aku tetap bisa tertawa sedikit, tetapi biasanya aku hanya tersenyum tanpa terlalu menunjukkan ekspresi yang berlebihan.
Kelima, dan yang paling penting, aku mulai berhenti tertawa saat berbicara dengan orang yang tidak terlalu dekat denganku. Aku menyadari bahwa komunikasi yang baik tidak selalu harus diselingi dengan humor. Terkadang, lebih penting untuk fokus pada pesan yang ingin kusampaikan. Kebanyakan orang sebenarnya menunggu isi dari pembicaraanku, bukan seberapa sering aku bisa membuat mereka tertawa. Jadi, jika aku merasa ada sesuatu yang mungkin lucu, aku hanya menekan gigi atas dan bawah di dalam mulut dan tersenyum saja. Aku belajar hal ini dari adikku yang mengikuti latihan teater dan dari salah satu rekan kerjaku yang mampu bersikap serius namun tetap santai dalam pembawaannya.
Dari semua pengalaman ini, aku perlahan mulai terbentuk menjadi seseorang yang tidak terlalu banyak tertawa. Jika mengingat kembali masa kecil, rasanya begitu menyenangkan dan penuh kebebasan untuk tertawa sesuka hati. Namun, di masa dewasa, tampaknya diperlukan usaha lebih untuk mengontrol kapan dan dengan siapa kesenangan itu dapat dibagikan.
Karena tidak semua orang ingin bersenang-senang setiap saat.
``````````````````````````````````````````````````````````````````````````````````````````
Komentar
Posting Komentar