Golden Emptiness: Kekosongan Yang Berharga
Setahun telah berlalu.
Langkah demi langkah telah dilalui dari banyaknya upaya dan ujian untuk menentukan arah tujuanku terus berlanjut atau pupus.
Mengingat pertama kali ku bekerja yang menuntut arti dari sebuah professionalitas dan belajar menjunjung integritas yang dipercayakan pihak atasan agar semakin berkembang.
Sejauh yang sempat teringat, adalah tentang bayang bayangmu yang tampak pada setiap lamunanku. Bekerja, dengan giatku dari jam 8 pagi hingga 4 sore, lalu lanjut kembali dari jam 5 sore hingga 10 malam. Arena pertarunganku dan sumber kebahagiaanku disaat bersamaan menjadi ujian untukku lulus dari rasa takut.
Hidupku berpacu saat itu dengan melangkah maju kepada jalan takdir yang kubentangkan sendiri yang menjulur jauh; seperti tiada satupun yang dapat mematahkan seonggok besi yang melekat para tubuhku sebagai perisai dan pedangku, meskipun yang takkan kuacuh adalah keluarga dan sahabat²ku. Bagiku, mereka adalah sumber fitnahku. Untuk itu, mereka berhak untuk mendapatkan pembuktian dariku yang memperjuangkan atas apa yang ingin kuraih ditanganku.
Namun, akhir Juli, semua kandas dengan perlahan waktu membisu.
Tanpa campur tangan siapapun, Dia yang menjadi tujuanku harus pergi tanpa alasan apapun. Aku kehilangan arah, pikiran, dan jasadku yang serasa ingin mati seketika tanpa berpikir panjang. Segala upaya agar aku tetap bertahan hidup dengan tuberculosis, retaknya tulang pundakku, hingga kebahagiaan yang redup dan semakin sulit bagiku untuk tersenyum.
Aku mulai berhenti tertawa ketika bicara, mulai menahan diri untuk melucu, atau menjauh pada setiap drama manusia. Ketidakbahagiaanku menjadi jalanku until terus bertahan dan bangkit. Berdiri lalu maju melangkah meski seringkali lebih banyak melamun dan tak tahu menahu soal pekerjaanku sebagai pendamping siswa sekolah ternama.
Babak kesedihanku menjadi puncak yang mengharuskanku sadar akan batas "fokus" hidupku. Upaya mencari fokus pasca bulan ke sembilanku itu dengan lebih banyak melepaskan diri dengan menuliskan segala kesedihan dan mengekspresikannya dengan perasaan menggila pada setiap karya sastra atau dengan bercerita pada manusia lainnya.
Hingga penemuanku berlabuh pada kesadaran tentang jalanku yang "berikutnya", aku menyadari bahwa keluarga akan selalu ada di hati pertama pada diriku sendiri, meskipun harus melaluinya dengan berbagai perdebatan sengit dan pertarungan berpikir tentang renungan yang tiada habisnya untuk menerima sosok yang baru dalam hidupku.
Setiap peluang akan memberikanmu kesempatan untuk merasakan hidup, setidaknya kamu tidak sia-sia kalau memang bukan hasil yang signifikan. Pada akhirnya, Dia akan selalu ada di sana, membuatmu terus menanti dan mengejar mimpi.
Dan.
Aku berani mengambil setiap resiko, dan belajar kembali mengolah berbagai kesempatan manakah yang sesuai untuk kuhadapi; kebahagiaan manakah yang dapat kupenuhi tanpa harus bertanggung jawab atas orang lain, dan yang terpenting;
FOCUS.
Itu cukup.
Siapkah diriku untuk lahir menjadi Diri yang kosong kembali?
This is it, Welcome to the Golden Emptiness Series.
Komentar
Posting Komentar