Cukup tahu aja

 Cukup tahu aja,


Hari demi hari, kelelahanku semakin meradang. Setiap ketidaksadaranku membuka seluruh hasrat yang tidak pernah kudambakan. Entah apa itu, sebuah pengakuan, ingin didengar, dipahami pola pikir yang selama ini dibangun sejak lama.


Kapan ya, aku merasakan seperti orang-orang? Ingin diakui akan apa yang kumiliki. Sulit rasanya, berkemul di suatu lingkungan yang tiada satupun yang bisa memahami isi pikiranku yang ku update setiap waktu.


Gelisah? Iya. Sepanjang waktu yang ketika orang lain tidak peduli untuk mendengarkan isi pikiranku yang deep ini. Terima saja? Itu sulit. Aku juga manusia, ada kebutuhan harga diriku untuk diakui dan dipahami baik-baik. 


Apakah pemikiran ku berat bagi orang lain? Ataukah ini yang dirasakan Rasul ketika berdakwah dengan orang lain? Diabaikan, dicerca, dihiraukan, tidak dituntut untuk tahu dan percaya akan hikmah dan pembelajaran yang ada, Ataukah, inikah yang ayahku katakan bahwa aku akan "gila." mempelajari psikologi, terutama psikoanalisis terlalu dalam??

Bukan soal gila yang menjadi dampak dari seseorang alami, tetapi pada akhirnya, aku kembali terasing sebagaimana aku alami di masa kecil.


No one cares about my thought because they think Im fully bullshit.


No one cares about my thought because they think im going too far to understand human being, since they cannot reach me in the same things.


Bukan begitu!!!

Tolonglah.


Ini bukan soal meraih apa yang harus kalian tau, melainkan, belajar mengakui keberadaan ku, itu cukup. Mengapa begitu? Aku seperti wadah air yang terlalu penuh namun aku tidak tahu berapa banyak orang yang mengambil air dari wadahku..


Sedih.


Setiap waktu aku menangis memikirikan semua manusia yang kukenal di dunia ini, sebagaimana Rasul memikirkan umatnya bagaimana cara ia agar reach dengan baik risalahnya tersebut. Namun, itu sulit. Kuakui.

Aku semacam terisak tangis perlahan di dalam hati, dan hanya bisa diam pada akhirnya ketika tak ada satupun yang bertanya lebih dalam tentang pemikiranku, setelah semua yang kulalui.


Mungkin, inilah side effect yang harus kuterima. Sakit? Iya, setiap waktu. Tapi, ia memuncak menjadi demam, radang, meriang, dan khawatirku adalah sesuatu yang "besar" akan terulang bila pemikiranku semakin diabaikan. Itulah yang kuyakini sekarang.


Ketika aku beretorika soal menikah, "aku sudah memutuskan untuk..." namun adakah mereka mendengarkanku, dan komentar mereka hanya bisa memintaku tidak berpikir "berat" dari apa yang kupunya, instead mereka memaksaku untuk pola makan dan jangan pernah kelelahan sedikitpun. Itukah pola hidup sehat untukku? Bullshit. 


Aku tertekan. 


Jujur aja. 


Bukan masalah mengedepankan perasaan, tapi aku juga punya kebutuhan untuk didengar. Nggak setiap waktu bahkan sekian detik aku harus mendengarkan kalian! Hanya karena aku dianggap emosional, ga bisa menguasai diri, kurang tegas, gak jelas, bahkan yang lebih parah, aku dianggap "berbeda" dari konotasi negatif, dimana dibedakannya aku dari orang-orang yang sebenarnya hanya karena ketakutan kalianlah yang membuatku tersiksa!! 


Senyum? Tertawa? Itu hanya pelipur lara dan caraku untuk menikmati sejenak situasi yang ada. Namun pada akhirnya, meaningless. Aku cuma punya hasrat sekaligus harapan yang sejalan, dimana ingin kembali mengutuhkan kompleksitas dan kepercayaaan kolektif antara generasi, saudara, masyarakat. Entah mengapa kehadiranku hidup yang kedua kali ini terasa di tengah jalan cukup berat. 


Tuhan, 

Berat sekali tubuhku rasakan karena terlalu banyak isi yang kupunya dan tidak bisa disalurkan sedikitpun untuk orang banyak. Bodohnya aku. 


Banyak pakar atau peneliti yang mati di tengah umur tuanya dari penyakit yang bersifat fisiologis karena mereka yang pada akhirnya diabaikan. Oke, mungkin itulah konsekuensinya. Tapi, pertanyaannya satu.


Apakah mereka siap kutinggalkan karena pemikiranku sudah tidak berguna?


~

Komentar